5 Alasan Seseorang Merasa Bersalah saat Utamakan Diri Sendiri

- Terbiasa menjadi penyokong bagi orang lain
- Takut dinilai egois
- Terjebak dalam pola people pleaser
Mengutamakan diri sendiri sering dianggap sebagai sikap egois, padahal sebenarnya itu bagian penting dari menjaga keseimbangan hidup. Sayangnya, banyak orang justru dihantui rasa bersalah ketika mencoba menempatkan kebutuhan pribadi di atas kepentingan orang lain. Rasa bersalah ini tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh pengalaman, pola pikir, dan lingkungan yang membentuk cara pandang mereka.
Memahami penyebab munculnya rasa bersalah ini penting agar seseorang bisa lebih tenang dalam mengambil keputusan tanpa harus mengorbankan kesehatan mental maupun kebahagiaan pribadi. Berikut adalah lima alasan umum mengapa seseorang merasa bersalah saat utamakan diri sendiri.
1. Terbiasa menjadi penyokong bagi orang lain

Seseorang yang terbiasa membantu orang lain bisa merasa bersalah ketika tidak bisa selalu hadir atau memenuhi kebutuhan orang terdekat. Kebiasaan ini membuat mereka menganggap menolak atau menarik diri sebagai sesuatu yang salah. Padahal, setiap orang memiliki kapasitas yang terbatas. Mengutamakan diri sendiri bukan berarti tidak peduli, melainkan memahami bahwa memberi bantuan butuh energi yang cukup agar tidak menimbulkan kelelahan berlebihan.
2. Takut dinilai egois

Banyak orang tumbuh dengan anggapan bahwa mendahulukan diri sendiri adalah bentuk keegoisan. Tekanan sosial membuat mereka berusaha tampil sebagai pribadi yang selalu rela berkorban demi orang lain. Akibatnya, ketika mencoba berkata tidak atau mengutamakan kepentingan pribadi, perasaan bersalah muncul seolah-olah mereka sedang melukai orang lain. Padahal, menetapkan batasan justru membantu menjaga hubungan tetap sehat.
3. Terjebak dalam pola people pleaser

Seseorang yang terbiasa menyenangkan semua pihak sering sulit menoleransi kekecewaan orang lain. Mereka merasa nilai dirinya diukur dari seberapa banyak orang yang puas dengan sikapnya. Ketika mencoba mengambil keputusan untuk diri sendiri, rasa bersalah muncul karena takut tidak lagi dianggap baik atau disenangi. Padahal, hidup bukan tentang memenuhi ekspektasi semua orang, melainkan menyeimbangkan antara kebutuhan pribadi dan hubungan sosial.
4. Belum terbiasa memvalidasi perasaan sendiri

Rasa bersalah juga bisa muncul karena seseorang tidak terbiasa memberi ruang pada perasaan dan kebutuhannya sendiri. Mereka cenderung menekan emosi pribadi demi menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Jika hal ini berlangsung lama, setiap kali mencoba mengutamakan diri sendiri, muncul rasa ragu dan bersalah seolah langkah tersebut tidak sah atau tidak pantas dilakukan. Padahal, memvalidasi perasaan adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.
5. Pengaruh lingkungan yang menuntut

Beberapa lingkungan keluarga atau pertemanan menanamkan standar bahwa mengutamakan kepentingan bersama jauh lebih mulia dibanding kepentingan pribadi. Tekanan ini membuat seseorang merasa bersalah jika mencoba mengambil ruang untuk dirinya sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa membuat seseorang kesulitan menetapkan prioritas dan terus mengabaikan kebutuhannya. Padahal, mengutamakan diri sendiri tidak berarti mengabaikan orang lain, melainkan menjaga agar energi tetap cukup untuk berbagi dengan sehat.
Seseorang merasa bersalah saat utamakan diri sendiri adalah hal yang wajar, tetapi jika dibiarkan terus-menerus bisa mengikis rasa percaya diri dan kebahagiaan. Penting untuk menyadari bahwa menjaga diri bukanlah bentuk egoisme, melainkan fondasi agar kita mampu hadir dengan lebih baik bagi orang lain. Dengan memahami alasan di balik rasa bersalah tersebut, langkah untuk lebih berani memprioritaskan diri sendiri akan terasa lebih ringan.