3 Sikap Manifestasi Toxic Positivity yang Merugikan Diri Sendiri

Kita sering mendengar nasihat untuk berpikir, berkata, dan bersikap positif. Hal tersebut memang baik, tapi sikap positif yang dipaksakan malah akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ketika kamu terobsesi untuk terus memandang hal positif sampai mengabaikan realitas, tanpa disadari kamu sudah masuk dalam toxic positivity.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari sedang terjebak dalam kebiasaan toxic positivity. Padahal bila terus dilakukan, malah akan merusak diri sendiri. Sebagai bahan introspeksi, kamu perlu mengenali tiga sikap manifestasi toxic positivity. Yuk, segera ubah!
1.Selalu mengerdilkan perasaan diri sendiri dan orang lain

Saat kamu atau orang terdekatmu baru mengalami sesuatu yang tidak enak, alih-alih mengakui dan berempati pada perasaan doi, kamu justru mengerdilkan dan menganggap semua baik-baik saja. Bisa jadi juga saat ada teman curhat masalah dan kesedihannya padamu, kamu malah berkata, “Udah, nggak usah sedih. Untung nggak lebih parah dari ini”.
Sikap seperti ini tentu berdampak buruk, baik pada diri sendiri dan orang lain. Pada diri sendiri, kamu jadi kerap menahan-nahan perasaan negatif seperti khawatir, cemas, marah, sedih, kecewa. Pada orang lain, kamu dinilai sebagai orang yang tidak tahu cara berempati.
Perasaan yang tidak divalidasi tidak akan hilang begitu saja, justru akan terpendam dan suatu saat meledak dalam bentuk konflik yang lebih besar. Namanya hidup, pasti tidak sempurna. Perasaan negatif ada bukan untuk disangkal, melainkan diakui dan dicari jalan keluarnya.
2.Selalu menghindari konflik dan argumen

Toxic positivity bisa membuatmu percaya bahwa hubungan yang sempurna ialah hubungan yang tanpa konflik. Alhasil, demi meraih itu, kamu bersedia untuk selalu setuju dengan lawan bicaramu.
Tentu hal tersebut adalah hal yang buruk. Saat kamu tidak bisa jujur dan terbuka pada orang-orang sekitarmu, kamu hanya membangun relasi yang dangkal dan tidak autentik.
Walau rasanya tidak nyaman, gesekan dan konflik ada untuk semakin mempererat hubungan. Dari sanalah kamu semakin belajar seperti apa karakter lawan bicaramu, sekaligus memperkenalkan pada mereka karaktermu.
3.Malu untuk minta bantuan saat kesulitan

Kalau kamu berpikir bahwa merasa sedih, marah, dan khawatir sama saja dengan kegagalan, maka kamu sudah masuk dalam toxic positivity. Padahal, merasa sedih, marah, dan khawatir sama wajarnya dengan merasa senang dan semangat. Jadi, kenapa harus malu?
Manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti kita tidak bisa hidup sendirian. Lumrah, kok, untuk meminta bantuan orang lain saat kamu kesulitan. Bukankah seharusnya hubungan yang sehat dibangun dengan dukungan?
Kalau kamu mengenali sikap ini ada pada dirimu, maka cobalah untuk ubah pola pikirmu. Jangan sebab terlalu terobsesi dengan sempurna, kamu malah memaksakan semuanya harus terlihat baik dan sempurna. Capek sendiri, lho, nantinya. Yang ada malah bikin kamu kecewa dan burn out mental, karena semua yang kamu ekspetasikan hanya fatamorgana belaka.