Sinta Ridwan, Pegiat Naskah Kuno Ini Ternyata Penderita Lupus

Sebuah buku autobiografi berjudul “Berteman Dengan Kematian” adalah kisah nyata pengalaman hidup sesosok perempuan inspiratif bernama Sinta Ridwan. Divonis mengidap lupus pada tahun 2005, perempuan kelahiran Cirebon, 11 Januari 1985 ini terus berjuang melawan rasa sakit dari penyakit yang belum ditemukan obat penawarnya itu.
Alih-alih berlarut dalam kesedihan meratapi penyakitnya, Sinta Ridwan justru bangkit dengan semangat penuh sebagai pegiat filologi. Kurang familiar dengan cabang ilmu yang satu ini? Mari sedikit berkenalan dengan filologi.
Dikutip dari Wikipedia, filologi adalah cabang ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik. Filologi juga mempelajari naskah-naskah manuskrip dari zaman kuno.
Berbekal gelar master yang dikantonginya selepas menamatkan studi S2 Filologi di Universitas Padjajaran, pada tahun 2009 Sinta membuka kelas aksara kuno di Gedung Indonesia Menggugat yang berlokasi di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung. Sinta mewujudkan kelas aksakun (Singkatan dari aksara kuno) ini atas bantuan dan dorongan semangat dari beberapa rekannya yang tergabung dalam komunitas seniman beraliran metal di sekitaran Ujung Berung, Bandung.
Dalam wawancara singkatnya dengan salah satu surat kabar nasional, Sinta menyebutkan bahwa tujuan dibukanya kelas aksakun ini adalah untuk menjaga sekaligus melestarikan naskah-naskah kuno. “Tidak ada masa kini tanpa adanya masa lalu, dan itu semua tertuang dalam naskah kuno. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah naskah kuno. tidak hanya isinya yang berupa sejarah, silisilah, hikayat, mantra, nyanyian, nasehat, atau lainnya, tapi juga dari bentuk huruf, alat, dan media tulis, serta latar belakang sosial yang mendorong penulisan naskah itu,” ungkap Sinta yang pernah menyabet penghargaan Kick Andy Heroes 2012 sebagai Young Hero.
Di dalam setiap naskah-naskah kuno itu pastilah terkandung banyak hal bermanfaat seperti petuah-petuah bijak, catatan peradaban di masa silam, gambaran gaya hidup, sampai konten-konten sastra masa lalu.
Kecintaan Sinta pada naskah kuno mengalahkan rasa sakit akibat lupus yang dideritanya. Menurutnya obat terbaik dalam menghadapi suatu penyakit adalah menjadi bahagia. Bahagia di mata Sinta adalah menekuni hal-hal yang disukainya serta dapat senantiasa bermanfaat bagi orang lain.
Kini Sinta tercatat sebagai kandidat doktor di Universitas Padjajaran. Sinta juga tengah disibukkan dengan upayanya mewujudkan museum digital khusus naskah kuno. Memiliki museum digital adalah impian terbesar Sinta sejak menekuni dunia filologi. Demi mewujudkan museum digital ini, Sinta rela berkeliling ke berbagai tempat guna mengumpulkan naskah-naskah kuno.
“Selama ini orang-orang jarang mempelajari atau membaca naskah kuno itu karena kesulitan dalam mengakses catatan-catatan masa lalu yang tersebar di seluruh penjuru nusantara,” ujar Sinta. Dengan terwujudnya museum digital ini, masyarakat akan lebih mudah mengakses catatan-catatan kuno di mana dan kapan saja, tanpa harus mengunjungi museum-museum secara langsung.
Dari Sinta kita mendapat pelajaran berharga, bahwa tidak ada alasan untuk tidak menjadi bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Bahkan penyakit seganas lupus tak mampu menyurutkan semangat Sinta untuk terus berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya. Ingat sekali lagi, obat terbaik untuk penyakit apapun adalah menjadi bahagia.