5 Sisi Positif dari FOMO Membaca, Jangan Nyinyir Dulu!

- Rasa ingin tahu yang semakin tajam
- Citra literasi jadi lebih dekat dengan gaya hidup
- Terbentuknya komunitas literasi yang inklusif
Fenomena Fear of Missing Out atau FOMO sering dianggap sebagai gejala sosial yang membuat seseorang merasa gelisah karena takut tertinggal tren. Namun, ketika rasa ingin ikut-ikutan itu diarahkan ke hal yang bermanfaat seperti membaca, hasilnya bisa jauh lebih positif. Belakangan, banyak orang mulai melirik dunia literasi lagi karena melihat teman-temannya membahas buku atau tren literasi di media sosial. Ini bisa dibilang perkembangan baik di tengah fakta bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, bahkan hanya 0,001 persen menurut data UNESCO.
FOMO membaca menunjukkan bahwa motivasi seseorang untuk membuka buku bisa muncul dari hal yang tidak terduga. Walau awalnya sekadar mengikuti arus, kebiasaan membaca dapat berubah menjadi kebutuhan yang tumbuh dari dalam diri. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, hal ini tentu menjadi peluang besar untuk membangun budaya literasi baru. Berikut lima sisi positif dari FOMO membaca. Bermanfaat banget, lho!
1. Rasa ingin tahu yang semakin tajam

Ketika melihat banyak orang membicarakan buku tertentu, rasa penasaran sering muncul secara alami. Keinginan untuk tahu isi cerita, makna, atau pesan di balik bacaan bisa menjadi alasan awal seseorang membuka buku. Proses ini bukan sekadar ikut tren, tapi juga refleksi dari kebutuhan untuk memahami apa yang sedang ramai dibahas di sekitar. Rasa ingin tahu yang aktif seperti ini justru memicu seseorang berpikir lebih kritis dan terbuka terhadap perspektif baru.
Dari kebiasaan itu, pembaca akan mulai memperluas pilihannya, mencoba genre berbeda, hingga membaca topik yang lebih menantang. Hal sederhana seperti mengikuti ulasan di media sosial bisa berujung pada penemuan karya sastra yang mengubah cara pandang hidup. Jadi, rasa penasaran yang tumbuh dari lingkungan sosial justru bisa memperkaya pengalaman membaca seseorang.
2. Citra literasi jadi lebih dekat dengan gaya hidup

Membaca dulu dianggap kegiatan yang serius dan jauh dari kesan menyenangkan. Kini, tren literasi yang dikaitkan dengan media sosial membuat aktivitas ini terasa lebih hidup dan modern. Orang-orang mulai memandang membaca sebagai bagian dari gaya hidup, bukan lagi kegiatan yang terpisah dari keseharian. Buku, ebook, hingga kutipan dari karya sastra kini jadi bahan percakapan yang terasa ringan dan relevan.
Perubahan citra ini sangat penting karena bisa menarik lebih banyak orang untuk terlibat dalam dunia literasi. Ketika membaca tak lagi diasosiasikan dengan kesan “kaku” atau “nerdy”, minat masyarakat pun perlahan meningkat. Buku menjadi simbol koneksi sosial, tempat berbagi pandangan, bahkan alat untuk mengekspresikan diri.
3. Terbentuknya komunitas literasi yang inklusif

Dampak menarik dari tren membaca ini adalah munculnya komunitas-komunitas baru yang terbentuk secara organik. Banyak orang yang awalnya hanya membaca karena tertarik dengan tren tertentu akhirnya bertemu dengan sesama pembaca dan menjalin interaksi sosial. Dari obrolan sederhana seputar buku, tumbuh rasa kebersamaan dan dukungan satu sama lain.
Kehadiran komunitas seperti ini memperkuat semangat literasi karena setiap anggota merasa dihargai. Mereka bisa saling bertukar pikiran tanpa rasa takut dihakimi, serta saling merekomendasikan bacaan yang memperkaya wawasan. Membaca pun berubah dari kegiatan individual menjadi pengalaman kolektif yang hangat dan bermakna.
4. Munculnya kedisiplinan dalam menyerap informasi

Dorongan untuk tetap ikut dalam pembahasan buku populer sering membuat seseorang lebih disiplin mengatur waktu membaca. Rutinitas kecil seperti membaca beberapa halaman setiap hari bisa berubah menjadi kebiasaan berkelanjutan. Awalnya mungkin dilakukan agar tidak tertinggal obrolan, namun lama-kelamaan menjadi bagian dari pola hidup yang produktif.
Kedisiplinan ini berperan besar dalam membangun konsistensi membaca. Seseorang yang sudah terbiasa mencari waktu untuk membaca akan lebih mudah menjaga fokus dan meningkatkan kemampuan memahami teks. Proses ini juga membantu melatih kesabaran, karena membaca menuntut perhatian penuh dan kesadaran yang stabil di tengah hiruk pikuk dunia maya yang begitu cepat.
5. Tumbuhnya literasi digital yang lebih kritis

Di era informasi yang serba cepat, rasa takut tertinggal sering mendorong orang untuk mencari tahu lebih banyak di dunia maya. Hal ini tanpa disadari meningkatkan kemampuan dalam memilah dan menilai informasi yang beredar. Seseorang yang terbiasa membaca dari berbagai sumber akan belajar membedakan antara fakta dan opini, serta lebih selektif dalam memercayai sesuatu.
Kebiasaan mencari tahu ini dapat memperkuat literasi digital di tengah banjir informasi yang tidak selalu valid. Semakin sering seseorang membaca secara mendalam, semakin tajam pula nalarnya dalam menilai keakuratan sebuah berita atau tulisan. Dengan begitu, dorongan sosial yang awalnya tampak sepele justru membantu membentuk masyarakat yang lebih cerdas dan kritis terhadap informasi.
Sisi positif dari FOMO membaca membuktikan bahwa rasa takut tertinggal tidak selalu berujung negatif. Jika diarahkan dengan baik, ia bisa menjadi jembatan menuju kebiasaan membaca yang lebih kuat dan berkelanjutan. Di tengah budaya yang semakin visual dan cepat, bukankah menarik jika dorongan sosial justru bisa menumbuhkan kembali cinta pada literasi?