Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Syahar Banu Ceritakan Beratnya Jadi Ibu dan Aktivis di Indonesia

Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)
Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)

Jakarta, IDN Times - Meniti karier sebagai aktivis sekaligus menjalani peran sebagai seorang ibu, tidaklah mudah bagi Syahar Banu. Kegiatannya sebagai relawan, membuatnya harus berbagi waktu dan tenaga agar kedua peran dapat berjalan selaras. 

Perempuan yang akrab disapa Banu ini, aktif sebagai relawan di KontraS, yakni komisi orang hilang dan korban kekerasan aparat. Kisah menarik dibagikan oleh Banu mulai dari awal kariernya sebagai aktivis hingga pengalamannya sebagai seorang ibu satu anak yang aktif mengajak putri kecilnya untuk turut serta di berbagai kegiatan. 

Banu membagikan kisahnya dalam program 'Real Talk with Uni Lubis' yang disiarkan di Youtube IDN Times pada Jumat (16/5/23). Simak bagaimana kisah Banu yang aktif bekerja di sektor publik sekaligus menjadi seorang ibu

1. Banu aktif jadi relawan pelanggaran HAM berat di KontraS yang memperjuangankan hak korban penyiksaan, orang hilang, dan tindak kekerasan

Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)
Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)

Dalam bincang interaktif sore itu bersama Uni Lubis, pemimpin redaksi IDN Times, Banu mengajak buah hatinya untuk ikut in frame. Ia menyampaikan, anaknya sudah biasa mengikuti kegiatan dan pekerjaannya, baik di kantor maupun di lapangan. 

Banu memperkenalkan diri sebagai relawan di komisi KontraS, "Relawan di divisi pemantauan impunitas. Pemantauan impunitas itu mengurus tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, maupun pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa kini."

KontraS sendiri menjadi komisi yang membantu advokasi orang hilang, penyiksaan oleh aparat negara maupun menggunakan alat-alat negara, serta kasus-kasus korban tindak kekerasan lainnya yang dilakukan oleh aparat negara. Banu menyebutkan beberapa kasus yang tengah ditanganinya, misalnya pada tragedi tahun 1965-1966, kasus pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, dan masih banyak lainnya. 

Banu dan teman-teman di KontraS mengawal impunitas di lembaga negara, melakukan kampanye pada peringatan-peringatan kasus pelanggaran HAM, serta advokasi kebijakan. Selain itu, sehari-hari Banu membantu korban untuk mendapatkan haknya, terkait surat keterangan korban, bantuan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) serta akses kesehatan dan lain-lain. 

2. Menjadi aktivis karena ibunya jadi satu-satunya korban perempuan di Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok

Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)
Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)

Awal mula keterlibatan Banu membantu isu kemanusiaan karena ibunya menjadi salah satu korban pada kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Banu melihat ibunya memperjuangkan haknya sebagai korban perempuan satu-satunya pada kasus tersebut saat ia masih duduk di bangku SMP.

"Saat itu ibu saya menjalani persidangan pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok. Karena ibu saya adalah korban perempuan satu-satunya kasus Tanjung Priok, pelanggaran HAM berat Tanjung Priok," tuturnya.

"Ibu saya mungkin tepatnya terpaksa jadi aktivis karena jadi korban, jadi harus memperjuangkan haknya saat itu, dan ibu saya mendapatkan pemahaman soal hak asasi manusia dari KontraS," tambah Banu. 

3. Pengalaman kurang menyenangkan juga tak dapat dihindari, Banu pernah terjebak kericuhan dengan anaknya saat hendak mengikuti persidangan

Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)
Syahar Banu, relawan KontraS. (Dok.istimewa)

Sebagaimana Ibu Banu memperjuangkan haknya sebagai korban pelanggaran HAM saat punya anak, Banu juga mengikuti jejak tersebut. Bedanya, kali ini Banu berperan sebagai aktivis yang membela hak korban pelanggaran HAM sambil membawa anaknya dalam berbagai kegiatan, termasuk di persidangan.  

Salah satu pengalaman kurang menyenangkan dialami Banu dan buah hatinya saat mengikuti sidang dugaan pencemaran nama baik Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, yang melibatkan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar. Persidangan yang berlangsung pada Kamis lalu (8/6/23) berlangsung ricuh di luar ruang sidang. 

Saat itu, Banu datang membawa anaknya yang duduk di stroller. Sayangnya, pintu ruang persidangan ditutup hari itu, orang dari luar tidak diperkenankan masuk, sementara Banu dan anaknya terjebak dan terhimpit di antara kerumuman orang yang mendesak masuk.

"Saat aku sudah di depan, tiba-tiba di belakang tuh sudah banyak banget yang ingin masuk juga dan bertanya 'Pak kenapa ditutup' 'Pak aku kuasa hukum' gitu. Jadi kita bercampur sama keluarga korban Mei, kebanyakan lansia, kuasa hukum, kemudian waktu itu ada staff komisi yudisial juga, gak bisa masuk, wartawan. Aku gak kebayang bahwa wartawan pun gak boleh masuk, kan wartawan kan punya kartu pers, mereka jelas-jelas bawa kamera, gak boleh masuk. Dan kita terjebak di situ. Aku gak bisa mundur, aku gak bisa maju, aku stuck di situ, dan terjadi aksi dorong mendorong," Banu menceritakan kronologi siang itu. 

Meski selamat dan akhirnya mampu keluar dari kericuhan, Banu mengaku geram atas peristiwa yang dialaminya hari itu. Ia merasa khawatir akan keselamatan anaknya, juga orang-orang lain yang terhimpit. 

4. Sebagai seorang aktivis dan Ibu, Banu merasa banyak ruang publik yang masih belum aman untuk anak

ilustrasi ibu bersama anak-anaknya (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi ibu bersama anak-anaknya (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Pengalaman buruk yang dialaminya pada persidangan lalu, cukup disayangkan harus terjadi. Dari hal tersebut, Banu justru merasa masih banyak ruang publik di Indonesia yang tidak aman dan ramah anak.

"Justru kita bertanya kenapa sih kita gak punya banyak cukup ruang aman untuk anak," uajrnya.

Seringkali, menjalankan peran sebagai ibu dan perempuan yang berkarier menjadi lebih sulit karena lingkungan sekitarnya yang belum mendukung, seperti yang disampaikan Banu,

"Jadi sebenarnya bawa bayi itu gak susah-susah amat, tetapi yang bikin susah adalah lingkungan sekitarnya."

5. Banu: masyarakat belum berpihak kepada ibu bekerja dengan menormalisasi ibu yang bekerja sambil membawa anak

ilustrasi ibu dan anak sedang bercanda (Unsplash/ Valeria Zoncoll)
ilustrasi ibu dan anak sedang bercanda (Unsplash/ Valeria Zoncoll)

Menjalankan peran sebagai orangtua bekerja ternyata memiliki tantangan tersendiri, diakui Banu. Lingkungan yang belum sepenuhnya mendukung ibu bekerja sambil melakukan peran pengasuhan membuat karier perempuan kerap kali terhambat. 

"Jadi yang berat bukan soal tentara-tentara kalau buat aku, tapi society di sekitar yang belum berpihak kepada ibu dengan menormalisasi ibu yang bekerja sambil membawa anak. Harusnya situasi normalnya, seorang ibu atau seorang bapak itu bisa menjalankan perannya sebagai orangtua yang mengasuh anaknya di saat dia sekaligus bekerja."

Cerita Banu semoga bisa menjadi inspirasi dan kekuatan bagi perempuan yang menjalankan perannya sebagai ibu sekaligus pekerja. Kedua peran yang diemban tidak mudah, dan tak semua orang punya opsi untuk bisa memilih peran mana yang harus dijalankan atau ditinggalkan. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
Dina Salma
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us