ilustrasi kemarau (pexels.com/Feyza Daştan)
Awal mula kepedulian Syaharani dalam mendalami isu lingkungan dan krisis iklim, dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadinya. Semula, ia berharap dapat menekuni karier di bidang hukum, sebagaimana gelar pendidikan tinggi yang diperoleh. Akan tetapi, ketertarikan akan isu lingkungan justru muncul saat ia mengalami sendiri kekeringan panjang di wilayah tempat tinggalnya.
"Ketertarikan soal lingkungan itu awalnya muncul karena aku kan kampungnya di Cirebon, di daerah Kabupaten Cirebon, yang mana desaku itu ada di kaki Gunung Ceremai, berbatasan sama Kabupaten Kuningan. Jadi, sudah beberapa tahun, kampungku ini mengalami kekeringan yang lumayan parah, sampai kita tuh mandi gak ada air. Jadi, awal mulanya kayak berpikir, 'Apa ya, kenapa ya kekeringan kayak gini? Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, belum pernah terjadi kayak gini.' Nah, sampai akhirnya di kampus aku punya dosen yang cukup vokal terkait dengan lingkungan. Barulah di situ aku terpapar sama pengetahuan kalau bumi kita ini sedang mengalami satu perubahan yang sangat signifikan, yang namanya perubahan iklim," ceritanya Syaharani.
Syaharani kian menyadari bahwa permasalahan lingkungan bukan sekadar isu global yang jauh dari kehidupannya, melainkan sesuatu yang berdampak langsung pada keseharian. Dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, ia bertekad untuk berkontribusi lebih dalam terhadap perubahan iklim dan energi.
"Aku punya pengalaman melihat perubahan ini. Yang kedua, aku punya pengetahuan juga secara akademik untuk memahami itu dan karena background aku Hukum, aku lebih banyak berkecimpung dengan kebijakan dan regulasi," jelas sarjana Hukum Universitas Indonesia itu.
Secara spesifik, Syaharani fokus pada isu kebijakan transisi energi, analisis dan rekomendasi kebijakan dalam mitigasi dan adaptasi, serta mendalami riset terkait litigasi perubahan iklim. Ia juga terlibat dalam aktivitas internasional dalam mengadvokasi isu tersebut.
"Kalau aku memang interest-nya membuat kebijakan Indonesia itu lebih pro iklim karena kita udah gak punya waktu lagi. Semakin lama kebijakan yang mendukung perubahan iklim itu dibuat, semakin besar juga kerugian yang akan ditanggung di masa depan," ujarnya.