Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tanda Belum Memprioritaskan Masa Depan, Utamakan Kesenangan Hari Ini

ilustrasi pria muda (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)
ilustrasi pria muda (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Mana yang lebih penting menurutmu, masa depan atau masa kini? Jika kamu menjawab masa kini, mungkin dasar pemikirannya ialah hanya sekarang yang benar-benar dimiliki. Tidak ada yang tahu waktu-waktu mendatang masih menjadi milikmu atau tidak. Cuma di sini dan hari ini yang sungguh-sungguh bisa dimanfaatkan.

Pemikiran seperti di atas ada benarnya. Masa depan memang misteri. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan termasuk soal usia. Namun, ketidaktahuan ini jangan lantas membuatmu abai akan persiapan masa depan. Justru karena kamu tak tahu apa-apa seputar masa depan, lakukan persiapan terbaik.

Abai terhadap masa depan bakal merugikan diri sendiri. Kamu terlambat mengantisipasi berbagai hal sehingga ketika masa depan telah menjadi masa kini, situasinya jauh dari harapanmu. Kamu yang paling bertanggung jawab atas masa depan pribadi. Kalau dirimu masih melakukan kelima hal berikut, tandanya masa depan belum dipikirkan dengan sungguh-sungguh.

1. Paling malas membicarakan masa depan

ilustrasi pria muda (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi pria muda (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Meski kamu suka mengobrol dengan siapa saja, topik masa depan selalu dihindari. Bahkan ketika orangtua yang mengajakmu buat membicarakannya, dirimu bersikap menolak. Kamu bisa agak kesal dan buru-buru pergi supaya tidak lagi diajak untuk membahasnya. Teman-temanmu mengobrolkannya pun tak membuatmu tertarik buat bergabung.

Dirimu juga tidak berminat untuk sekadar mendengarkan siaran apa pun terkait persiapan masa depan. Baik topik spesifiknya seputar pendidikan, pekerjaan, atau keuangan kamu tetap enggan menyimak. Bahkan sekalipun topik tersebut dibahas oleh ahlinya. Penolakanmu pada perbincangan seputar masa depan ada alasannya.

Pertama, fokusmu memang belum ke situ sehingga bagimu sama sekali tidak penting. Kedua, dirimu cuma takut untuk membicarakannya. Ini bisa lantaran kamu belum siap menghadapi masa dewasa yang menuntutmu agar menatap jauh ke masa depan. Dirimu juga tidak tahu mengenai apa yang paling penting buat diwujudkan di masa depan. Kalimat andalanmu adalah, "Lihat nanti saja, deh".

2. Mengutamakan kesenangan hari ini tanpa peduli akibatnya

ilustrasi pertemanan (pexels.com/Helena Lopes)
ilustrasi pertemanan (pexels.com/Helena Lopes)

Dari hari ke hari hidupmu hanya diisi dengan usaha mencari kesenangan sebanyak mungkin. Misalnya, dengan kamu main tanpa mengenal waktu. Dirimu kuat pergi main dari pagi sampai pagi lagi atau minimal hingga tengah malam. Keesokannya kamu pasti terlambat bangun tidur. Banyak aktivitas penting menjadi terbengkalai.

Dirimu berpikir untuk menikmati sebanyak-banyaknya kesenangan hidup sekarang juga. Soal akibatnya baik atau buruk, kamu enggan memikirkannya. Terpenting dirimu merasa happy dan menganggapnya sesuatu yang pasti positif. Padahal, kesenangan dengan dampaknya di masa depan terkadang gak selaras. 

Makin senang dirimu sekarang, boleh jadi kelak justru makin sengsara hidupmu. Contohnya, kebiasaan berfoya-foya yang menghabiskan pendapatanmu. Kelak ketika ada kebutuhan tak terduga, kamu tidak punya tabungan sedikit pun. Bukannya ada simpanan yang dapat dimanfaatkan, dirimu malah terjerat banyak utang.

3. Menganggap belajar, bekerja keras, dan menabung gak penting

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Foto Art Events)
ilustrasi seorang pria (pexels.com/Foto Art Events)

Ketiga hal di atas sangat tidak disukai olehmu. Meski kamu juga pernah bersekolah dan berkuliah, belajar bukan kegiatan yang diprioritaskan. Dirimu mengerjakan PR, tugas, sampai ujian ala kadarnya saja. Kalau bisa kamu malah cukup menyontek teman. 

Setelah lulus, dirimu juga kurang termotivasi untuk bekerja. Ada saja alasanmu buat menunda mencari pekerjaan dengan serius. Kalaupun kamu mau tidak mau harus bekerja karena gak dikasih uang saku lagi, dirimu melakukannya sekadarnya saja. Kamu tak punya ambisi sedikit pun buat meningkatkan karier.

Bahkan keputusan berhenti bekerja mudah diambil tanpa memikirkan kelanjutan hidupmu. Dirimu juga mentertawakan nasihat untuk rajin menabung. Kamu bersikap masa bodoh terhadap segala peringatan bahaya keuangan apabila hidup tanpa tabungan. Dirimu enggan sedikit saja bersusah payah demi kehidupan yang lebih terjamin di masa depan.

4. Menjauhi teman-teman yang sibuk menyiapkan masa depan

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Jean Carlos)
ilustrasi seorang pria (pexels.com/Jean Carlos)

Mereka terasa membosankan atau membuatmu merasa terancam. Kamu memilih berteman dengan orang-orang yang sefrekuensi, yaitu sama-sama anti memikirkan masa depan. Dirimu merasa lebih nyaman dan santai bersama mereka. Walau tentu saja keadaan seperti ini malah membuatmu tambah lalai untuk mempersiapkan masa depan.

Kamu bersikap seolah-olah gak mau tertular virus memikirkan masa depan. Dirimu membangun pertahanan yang sulit ditembus oleh kawan-kawan sebaya yang ingin mengajakmu maju bersama. Kalau kamu punya sahabat yang akhir-akhir ini tambah fokus menyiapkan masa depannya, ini juga dapat menjadi alasanmu memutuskan hubungan.

Bagimu, orang yang berorientasi pada masa depan tidak asyik dijadikan kawan. Mereka terkesan kaku, sok sibuk, dan gak bisa diajak bersenang-senang. Tidak peduli sikap mereka padamu baik-baik saja, dirimu tetap enggan lebih dekat. Pikirmu, daripada sibuk mempersiapkan masa depan mending menikmati masa kini sepuasnya mumpung masih muda. 

5. Memandang pengorbanan demi masa depan sebagai hal konyol

ilustrasi perempuan muda (pexels.com/KoolShooters)
ilustrasi perempuan muda (pexels.com/KoolShooters)

Banyak orang yang lebih tua darimu menasihati supaya kamu tidak mengumbar segala keinginan karena bisa membahayakan masa depan. Mereka sudah lebih berpengalaman dalam hidup. Kata mereka, pengorbanan hari ini misalnya dengan mengendalikan keinginan bersenang-senang bakal mendatangkan kebahagiaan yang lebih besar di masa depan.

Namun, menurutmu nasihat seperti itu konyol sekali. Siapa yang menjamin hubungan sebab akibat tersebut benar-benar akan terjadi? Kamu tidak mau terjebak dalam kenyataan hidupmu tetap saja sengsara, meski sudah banyak berkorban di tahun-tahun sebelumnya.

Tiadanya kepastian mengenai hubungan sebab dan akibat mendorongmu untuk menolak pengorbanan dalam bentuk apa pun buat masa depan. Dirimu malah berpendapat jika saat ini kamu sudah optimal dalam bersenang-senang dan memuaskan segala keinginan, besok pasti bakal tambah happy lagi.

Menurutmu, masa depan tak meminta apa pun darimu apalagi hal-hal yang mengurangi kebebasanmu. Bagimu, hidup sama sekali tidak berpamrih.

Tanpa kamu perlu mengorbankan apa pun, kehidupan yang baik akan tetap didapatkan. Kalaupun dirimu perlu mengorbankan sesuatu, kamu memilih pengorbanan dengan balasan kilat. Contohnya, dirimu mengeluarkan banyak uang buat ditukar dengan kesenangan yang seketika dapat dirasakan. 

Memprioritaskan masa depan bukan artinya kamu dilarang menikmati masa kini. Akan tetapi, bijaklah memakai waktu dan seluruh sumber daya yang dimiliki hari ini. Menikmati masa sekarang sembari tetap menyiapkan masa depan dapat dilakukan.

Contoh simpelnya, dirimu bekerja keras di hari kerja dan bersantai di hari libur. Begitu pula di samping pos menabung dan investasi buat masa depan, kamu tetap menyediakan dana untuk playing. Jangan mengabaikan masa depanmu karena ini tanggung jawabmu penuh begitu dirimu memasuki usia dewasa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Inaf Mei
EditorInaf Mei
Follow Us