5 Tantangan Menerapkan Slow Living di Tengah Modernisasi

- Tekanan budaya untuk tetap produktif
- Tuntutan kebiasaan multitasking
- Berhadapan dengan fenomena fear of missing out
Di era sekarang ini, pada kenyataannya kita dihadapkan dengan modernisasi yang sudah mengambil alih kendali. Kehadiran teknologi digital fokus dan perhatian. Tidak hanya itu, modernisasi juga turut mengacaukan penerapan gaya hidup.
Hal ini semakin terlihat ketika kita memilih menerapkan slow living. Memilih slow living di tengah gaya hidup yang serba cepat ternyata justru menjadi permasalahan tersendiri. Menerapkan slow living berdampingan modernisasi, tentu harus bersiap menghadapi deretan tantangan di bawah ini.
1. Tekanan budaya untuk tetap produktif

Slow living dikenal sebagai gaya hidup yang mengutamakan kesenangan dan kesederhanaan. Menerapkan gaya hidup demikian membuat kita lebih tenang dan terkontrol. Tapi jika kita menerapkan slow living berdampingan dengan modernisasi, sudah tentu terdapat tantangan yang harus diwaspadai.
Gaya hidup slow living menghadirkan tekanan budaya untuk tetap produktif sepanjang waktu. Lingkungan modern menilai keberhasilan dari kesibukan dan pencapaian. Orang yang memilih ritme lebih pelan sering dianggap malas atau kurang ambisius.
2. Tuntutan kebiasaan multitasking

Pernahkah mengerjakan banyak dalam satu waktu bersamaan? Seringkali ini menjadi beban yang menguras keseimbangan mental sekaligus pikiran. Di era modern seperti sekarang, kebiasaan multitasking dianggap suatu hal yang normal dan tidak perlu dipermasalahkan.
Memilih menjalani gaya hidup slow living, tuntutan kebiasaan multitasking turut menjadi tantangan. Slow living yang fokus pada satu hal dalam satu waktu bisa terasa bertolak belakang dengan ekspektasi multitasking. Alih-alih menjalani hidup dengan ketenangan, kita justru memaksa diri menyelesaikan seluruh pekerjaan tanpa memperhatikan keterbatasan.
3. Berhadapan dengan fenomena fear of missing out

Fear of missing out. Kita kerap dihadapkan dengan rasa takut tertinggal tren. Bahkan rasa takut ini akan berubah menjadi kecemasan tidak terkendali. Bahkan, fenomena fear of missing out dapat mempengaruhi keseimbangan dalam menjalani hidup.
Di sinilah kita bisa mengamati tantangan yang harus dihadapi saat menerapkan gaya hidup slow living berdampingan dengan modernisasi. Prinsip slow living mengajarkan seleksi dan prioritas. Konsep ini bertentangan dengan fenomena fear of missing out, di mana seseorang mengikuti tren tanpa ingin tertinggal sedikitpun.
4. Dinamika lingkungan yang berubah dengan cepat

Kita harus menerima fakta bahwa lingkungan tidak bersifat stagnan. Perubahan sering terjadi dan mempengaruhi aspek-aspek penting yang mendominasi. Seringkali perubahan ini berlangsung dalam waktu singkat dan tanpa perencanaan sama sekali. Membahas dinamika lingkungan, tentu tidak bisa dipisahkan dari penerapan gaya hidup.
Kita bisa mengetahui tantangan menerapkan slow living di tengah modernisasi. Diantaranya dinamika lingkungan yang berubah dengan cepat. Modernisasi membawa perubahan gaya hidup dalam komunitas. Jika lingkaran sosial lebih memilih kecepatan dan konsumsi, menerapkan slow living bisa membuat seseorang merasa terasing.
5. Gaya hidup yang terpaku pada media sosial

Membahas modernisasi, secara otomatis akan berkaitan dengan kehadiran media sosial yang berkembang pesat. Bahkan bagi generasi muda di era sekarang, media sosial sudah menjelma menjadi kebutuhan utama. Termasuk sebagai wadah untuk mengaktualisasikan ide, perspektif, maupun kreativitas yang dimiliki.
Tapi di satu sisi, ini juga dapat membawa dampak buruk bagi orang-orang yang ingin menerapkan slow living. Media sosial, notifikasi, dan akses informasi instan membuat sulit untuk benar-benar berhenti sejenak. Terdapat tekanan untuk selalu update dan terkoneksi dengan kehidupan di dunia digital.
Setiap orang berhak menentukan gaya hidup yang dirasa sesuai. Namun menerapkan slow living di tengah modernisasi, tentu harus siap dengan tantangan yang harus dihadapi. Kita wajib waspada terhadap tekanan produktivitas, tuntutan multitasking, bahkan yang lebih buruk terpaku pada media sosial.