5 Alasan Seseorang Bisa Terjebak dalam Compassion Fatigue

- Terlalu berempati pada orang lain bisa menyebabkan compassion fatigue, rasa lelah fisik dan emosional karena terlalu peduli tanpa batas.
- Perlu belajar untuk mengatakan "tidak" dan menentukan batasan dalam membantu orang lain agar tidak merasa tertekan dan lelah.
- Kebaikan harus tulus, bukan demi validasi. Penting untuk punya waktu me time dan memperhatikan kesehatan fisik serta emosional.
Pernah tidak, bersikap terlalu baik pada seseorang sampai itu terasa melelahkan? Selama ini, kamu merasa kamu peduli sendirian. Kamu melakukan banyak hal, bahkan mengorbankan keinginan dan kepentingan diri demi kebahagiaan orang lain.
Compassion fatigue merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan rasa lelah fisik dan emosional ketika kamu terlalu berempati pada orang lain. Dampaknya tidak main-main, kamu cenderung apatis dan abai dengan sekeliling. Perlu kamu pahami, sebenarnya lima alasan di bawah bisa jadi penyebab seseorag terjebak dalam compassion fatigue.
1.Selalu mengorbankan kepentingan diri demi kebahagiaan orang lain

Sah-sah saja untuk menunjukkan kepedulian dan perbuatan baik, tapi bila kamu selalu mengorbankan bahkan menyangkal kebutuhanmu, maka lambat laun akan memimpin pada rasa lelah, baik fisik maupun emosional. Segala sesuatu tetap perlu ada batasnya.
Ada kalanya kamu harus berkata “tidak”. Bukan karena jahat atau tidak mau membantu, tapi tidak semua hal berada dalam jangkauanmu.
2.Berekspektasi untuk selalu menyenangkan semua orang

Bibit awal rasa lelah dimulai ketika kamu sendiri menuntut dirimu menjadi seorang people pleaser. Saat kamu berhasil kamu merasa puas, tapi kepuasan itu hanya sementara. Ketika kamu gagal, kamu akan langsung menyalahkan dan menghina diri sendiri.
Secara tidak langsung, kamu membuat dirimu merasa tertekan. Kesalahannya bukan terletak pada perbuatan baikmu, melainkan pada niat yang salah di awal.
3.Keinginan untuk mendapat validasi

Mirip dengan people pleaser, kamu melakukan kebaikan dengan fokus demi diterima dan divalidasi orang. Niatmu tidak tulus sejak awal. Alhasil, ketika kamu sudah melakukan sesuatu tapi tidak dilihat orang, kamu cepat untuk merasa kecewa.
Kebaikan harus lahir dari hati yang tulus. Kalau tidak, itu hanya akan terasa bagai kewajiban yang melelahkan. Ini karena kamu melakukannya demi validasi, bukan sebab sungguh-sungguh ingin.
4.Ketidakmampuan untuk membangun batas

Apa kamu tipe orang yang setiap dijadikan tempat curhat, langsung kepikiran masalah orang itu? Hati-hati, ini menandakan ketidakmampuan untukmu membangun batas dengan diri sendiri. Semua hal, termasuk yang tidak penting dan yang bukan berada dalam kendalimu, kamu jadikan bahan overthinking.
Bagus kalau kamu punya bakat untuk menjadi pendengar yang baik. Tapi, tanpa ada batasan yang teguh, cerita orang bisa menjadi bumerang yang menghancurkan dirimu.
5.Gaya hidup yang tidak seimbang

Setiap kita tetap butuh me time, untuk recharge energi diri sendiri. Kamu tetap harus meluangkan waktu untuk istirahat atau melakukan hal yang kamu suka. Ingatlah bahwa kesehatan fisik dan emosionalmu pun berharga.
Kalau kamu hanya fokus pada memberi dan memberi, kapan kamu mengisi tangkimu sendiri? Ingatlah bahwa manusia pun tidak sempurna, bantulah sesuai porsimu. Melakukan lebih dari itu hanya akan jadi bumerang untuk diri sendiri.
Lima hal di atas menjelaskan mengapa seseorang bisa terjebak dalam kondisi compassion fatigue. Bukan perbuatan baiknya yang salah, melainkan niat dan penerapan yang pada akhirnya jadi bumerang untuk diri sendiri.