Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar Biasa

Bukan hanya profesinya yang mengagumkan!

Jakarta - IDN Times - Sepagi itu, Jalan Medan Merdeka Selatan sudah sangat ramai. Motor, mobil, serta kendaraan umum berlalu lalang. Belum lagi dengan beberapa pelancong Monumen Nasional yang ingin menyeberang. Tak jauh dari sana, bangunan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) berdiri menjulang tinggi. 

Di lantai tujuh bangunan tersebut, bersemayam Layanan Lansia dan Disabilitas. Kontras dengan jalanan di depannya, suasana di sini sangat lengang. Petugas yang berjaga tampak memutar tembang kenangan dari komputernya untuk menghalau sepi.

Di sudut lainnya, seorang laki-laki dengan seragam abu-abu terlihat asyik di depan layar komputer. Sepasang headset hitam ia kenakan. "Mungkin dia sedang bekerja sambil mendengarkan musik agar tak sepi," batinku. Saat menghampirinya, barulah kutahu bahwa ia adalah salah satu tenaga perpustakaan tunanetra yang luar biasa.

1. Ivan Suswandar adalah Tenaga Teknis Perpusnas RI. Tugasnya tidak hanya berkutat dengan buku Braille, tapi juga dengan komputer bicara

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Saat aku memperkenalkan diri, wajahnya memang mengarah padaku. Namun gerakan bola mata serta tangannya yang tak segera menyambut jabat tanganku, membuatku maklum dengan keadaannya. Setelah memperkenalkan diri, kami terlibat dalam perbincangan yang cukup panjang. "Mas Ivan sedang mengerjakan apa?" tanyaku.

"Saya sehari-hari menggunakan komputer ini," tuturnya. Tanpa canggung, ia menjelaskan tengah melakukan upgrade komputer bicara. Komputer yang dikendalikannya itu, telah dilengkapi program screen reader bernama NVDA. Lantas ketika pemustaka tunanetra hadir, fasilitas itu bisa digunakan untuk mencari aneka informasi.

Meski tidak dibantu tetikus, jari-jari Ivan tangkas menyentuh setiap keyboard berformat QWERTY dan menginput sejumlah instruksi ke layar.

"Kalau seorang difabel netra, ketika menggunakan komputer itu, tidak ada komputer khusus difabel netra," tambah pria yang juga bertugas dalam pelabelan judul buku dalam huruf Braille tersebut.

Ia menunjukkan bagaimana mengatur komputer agar berbicara layaknya bahasa tutur manusia, bukan bahasa robotik. Ia juga menunjukkan bagaimana seorang tunanetra tahu tulisan yang diketiknya, diawali dengan huruf kapital. Semua ia lakukan secara cepat serta di luar kepala.

2. Kehadiran Ivan di layanan tersebut bak pelita. Kemampuannya menggunakan teknologi membuka mata setiap orang jika tunanetra pun berdaya

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Laki-laki bersuku Sunda ini telah bergabung di Layanan Lansia dan Disabilitas Perpusnas RI semenjak April 2018. Hal ini bermula dari inisiatifnya yang ingin memberikan informasi tepat tentang tunanetra.

"Saya tahu layanan disabilitas ini sejak Gedung Perpusnas diresmikan. Saya tahu layanan ini lebih representatif untuk difabel netra. Logika saya, harus ada orang yang ahli di bidang tersebut sehingga lembaga perpustakaan yang seharusnya memberikan informasi terpercaya, tidak memberikan info yang salah," kisahnya.

Ivan memberanikan diri untuk mengajukan lamaran. Terlebih, ia baru saja meninggalkan pekerjaan sebagai marketing telesales online di sebuah bank swasta. "Dengan logika tersebut, saya memberanikan diri mengajukan lamaran dan saya sampaikan ke bagian kepegawaian," tambahnya.

Kemampuan Ivan dalam mengoperasikan komputer rupanya membuat para petinggi di Perpusnas RI takjub. Mereka baru menyadari jika tunanetra tidak hanya berkutat dengan huruf Braille. Tunanetra juga sanggup mengoperasikan komputer umum dengan sedikit tambahan software. Membaca, mengetik, hingga berselancar di dunia maya, semua dapat dilakukan.

Pria kelahiran Tasikmalaya ini pun diterima. Karena tidak melalui jalur rekrutmen CPNS, ia tidak dapat disebut sebagai Pustakawan. Jabatan yang ia emban adalah Tenaga Teknis Perpustakaan RI atau Tenaga Perpustakaan Non-PNS. Meski begitu, hal ini tidak menghalangi niat Ivan berbicara lebih luas tentang tunanetra lewat profesinya.

"Masyarakat yang mengunjungi perpustakaan itu bukan hanya dari kaum difabel saja. Ada juga aktivis yang peduli," sebut dia.

Menurutnya, masyarakat umum belum memahami bagaimana tunanetra yang sesungguhnya. Orang-orang hanya mengetahuinya sebatas pada huruf Braille. 

Dengan adanya aplikasi screen reader dan teknologi lain yang diusulkannya saat pengadaan layanan disabilitas, ia berharap wawasan masyarakat tentang tunanetra lebih terbuka. Bagaimanapun, tunanetra adalah sosok yang tidak kalah berdaya dengan nontunanetra. Mereka tidak bodoh, apalagi dungu.

3. Sejak belia, Ivan sudah memiliki kelainan pada bola mata akibat penggumpalan pigmen di saluran retina. Kondisi ini memaksanya sekolah di SLB

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Sebelum seperti sekarang, kondisi penglihatan Ivan sebenarnya pernah mencapai tahap low vision saja.

"Kondisi penglihatan saya menurun secara bertahap akibat Retinitis Pigmentosa (RP), yaitu penggumpalan pigmen di saluran retina," ujar pria kelahiran 15 April 1983 tersebut.

Ivan menyebut jika kondisi yang dibawanya sejak lahir itu tak bisa segera diatasi lantaran cara mengeluarkan gumpalan dari retina tersebut belum ditemukan.

"RP berjalan secara bertahap. Karakter RP pada setiap orang berbeda. Ada yang cepat, ada yang lambat. Saya tergolong yang menengah karena ada yang lebih cepat," papar anak kedua dari empat bersaudara ini dengan sangat jelas.

Meski didera gangguan yang masih tergolong virus, Ivan masih bisa mengetahui arah datangnya cahaya. Misalnya saja, ke arah mana lampu neon melintang. Sehari-harinya, ia juga terbiasa menggunakan commuter line dari rumahnya tanpa hambatan berarti.

"Dari anak-anak, saya sudah tidak terbiasa menggunakan huruf latin. Karena ibu tidak siap mental jika saya masuk sekolah umum, maka saya masuk di sekolah luar biasa," kisah laki-laki yang bermukim di Depok ini.

4. Bermodalkan keinginan yang tinggi, Ivan tak mau lagi menuntut ilmu di SLB sejak SMA. Bahkan, ia juga kuliah di universitas layaknya orang normal

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Masa SD dan SMP telah Ivan lalui di sekolah khusus untuk difabel. Saat itu, kondisi penglihatannya masih bisa dikatakan tergolong baik. Ia bahkan masih mampu bersepeda di jalanan sebagaimana anak-anak normal seusianya. Yang mengejutkan, ia nekat melanjutkan sekolah di SMA non-SLB atas keinginannya sendiri.

"Sewaktu SMA, saya berintegrasi atas keinginan pribadi," tuturnya. Bukan hal yang mudah, niatnya masuk sekolah umum mendapatkan banyak kontroversi.

"Mau integrasi dengan sekolah, minimal ada penolakan. Alasannya belum ada alatnya. Di situ, difabel netra dituntut harus bisa menjelaskan dengan logika yang tak terbantahkan," Ivan mengisahkan pengalamannya sendiri.

"Ketika datang ke sekolah, kenapa harus ditolak? Padahal dengan UUD, hak mendapatkan pendidikan untuk siapa saja," tegasnya sembari menggerak-gerakkan kedua bola matanya.

Melalui perjuangan dan perdebatan panjang, Ivan berhasil menembus penolakan bersekolah di sekolah umum. Tiga tahun berhasil ia rampungkan penuh suka dan duka. Tapi, keinginannya menuntut ilmu masih tinggi. Ia ingin meneruskan ilmunya lagi di jenjang kuliah.

"Terkadang, ada perguruan tinggi yang terang-terangan menolak kaum disabilitas," kata laki-laki yang juga senang mengutak-atik komputer di akhir pekan ini. Tapi kali ini, Ivan patut bersyukur. Sebab, kampus tempatnya berkuliah sudah pernah menerima mahasiswa tunanetra dan tidak menemui kendala khusus.

Dalam bergaul di lingkungan sekolah dan kampus, Ivan pun tidak memiliki kesulitan. Berbekal teknologi yang ia gunakan untuk mempermudah pembelajaran, kawan-kawannya tertarik padanya. Karena itu pula, ia memiliki teman yang setia dan tidak sungkan membantu di kala susah.

Ivan tercatat pernah menjadi mahasiswa di dua universitas. Pertama, di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung pada Program Pendidikan Khusus S1. Sayangnya, ia hanya sanggup mengikuti empat semester.

Masih ada harapan, Ivan justru menamatkan pendidikan sarjananya di STAI Siliwangi Bandung. Kali ini, agama jadi konsentrasi ilmunya, yaitu Jurusan Tarbiyah. Semenjak pendidikannya tuntas, ia resmi menyandang nama Ivan Suswandar, S.Pd.I.

5. Sejak menyusun skripsi, Ivan mulai mempelajari komputer dan teknologi lain secara otodidak hingga lihai seperti saat ini

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari
dm-player

Dalam perguruan tinggi, tidak akan ada kelulusan tanpa tugas akhir atau skripsi. Begitu pula yang dialami Ivan. Meskipun kondisinya barangkali membuat orang iba, bukan berarti kewajiban ini lepas darinya. Di masa inilah, ia mulai mengakrabi komputer secara otodidak.

"Belajar komputernya secara otodidak. Sehubung perlu pas kuliah untuk menyusun karya tulis dan membutuhkan fasilitas Microsoft Office untuk menyusun skripsi. Selesai kuliah, saya punya komputer sendiri dan mulai tertarik untuk mempelajari komputer untuk difabel," tambah penggemar tokoh Mohammad Hatta ini.

Diakuinya, skripsi adalah hal yang cukup rumit bagi tunanetra sepertinya. "Kalau membutuhkan penelitian ke lapangan, butuh pendamping dari nondifabel netra. Waktunya tidak sedikit dan butuh biaya lagi," papar pria yang telah berkeluarga ini. Biaya itu, antara lain untuk membayar jasa pendamping di lapangan.

Beruntungnya Ivan karena ia memilih judul skripsi yang tidak mewajibkan terjun ke lapangan. "Saya memilih studi literatur sehingga lebih banyak bergelut dengan referensi. Memang ada rasa kelelahan dengan menelaah referensi yang saya susun," kata dia.

Rasa lelah ini wajar saja dirasakan. Sebab, tidak adanya referensi khusus tunanetra di perguruan tinggi. Tak kehabisan akal, ia meminta bantuan temannya untuk membacakan sejumlah buku.

Baca Juga: Kisah Abby & Brittany, Guru Kembar Dempet yang Menolak Dipisahkan

6. Jalan setapak Ivan sempat tak mudah saat ia bertanya apa gunanya lahir di dunia. Namun perlahan, ia bangkit & tak mau terbelenggu lagi

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Mendengar segala keoptimisan dan rasa semangatnya, aku memberanikan diri bertanya, "Apa momen terendah dalam hidup Mas Ivan? Kalau ada, bagaimana Mas Ivan bisa bangkit dari situ?" kataku.

"Dulu sempat berpikir, kenapa Tuhan menciptakan saya? Kenapa saya harus menjadi seorang difabel netra? Kenapa juga Tuhan harus menciptakan saya hanya untuk membuat orang lain repot, menjadi beban keluarga?" curhatnya.

Namun, pertanyaan-pertanyaan pesimis Ivan akhirnya dapat dibantahnya sendiri.

"Jangan tanya, kenapa Tuhan menciptakan saya? Justru yang ada, saya harus berupaya sedemikian rupa dengan kemampuan yang ada supaya saya bisa jadi orang yang punya nilai manfaat," papar dia.

Perlahan-lahan, Ivan menyuarakan pada publik tentang tunanetra yang sebenarnya lewat caranya sendiri. Ia juga menyampaikan pada masyarakat luas, "Tunanetra bukanlah alasan untuk serba tidak tahu karena belum jadi jaminan orang awas itu serba tahu," kata dia.

Dari momen terendahnya tadi, Ivan berhasil memperoleh pengalaman paling berharga. "Pertama kali mendapatkan kerja," jawabnya.

Ya! Sejak kecil, masalah masa depan Ivan sudah jadi perhatian orangtuanya. "Anak saya dengan kondisi seperti ini, sekolah setinggi ini, bisa jadi apa?" Ivan menirukan keraguan kedua orangtuanya.

Bila dirunut, Ivan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi pada tahun 2011. Setelah itu, ia sempat menganggur selama dua tahun. Baru pada tahun 2013, ia diterima bekerja.

"Dulu sempat mengajar nahwu shorof. Bergaji meskipun sedikit," katanya.

Selepas mengajar, barulah Ivan bekerja di sebuah bank. Kini, kesehariannya di Layanan Disabilitas Perpusnas RI yang tergabung dengan Layanan Lansia tersebut, merupakan pekerjaan definitifnya yang kedua. 

7. Ivan sadar, kaum disabilitas terutama tunanetra masih belum mendapatkan hak yang setara. Contohnya, saat tak diperkenankan memiliki kartu ATM

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Ivan mengamini jika kesempatan kerja bagi tunanetra masih belum terbuka luas. "Jangankan bekerja, sekolah saja harus berdebat dulu," katanya. Hal ini benar-benar ironi. Padahal, kita semua tahu bahwa pendidikan adalah elemen penting dalam mencari pekerjaan. Jika sekolah saja sulit, bagaimana mungkin mendapatkan pekerjaan yang layak?

Bukan sekadar menuntut ilmu dan mencari kerja, bagaimana kaum tunanetra mendapatkan layanan publik pun dirasa belum setara. "Misalnya pada saat membuka rekening. Ada beberapa bank yang menolak fasilitas kartu ATM untuk tunanetra dengan alasan irasional. Takut hilang dan sebagainya," paparnya lagi.

Peristiwa yang sempat ia alami itu, secara tidak langsung menggambarkan jika tunanetra masih dianggap bodoh dan dungu. "Padahal saat masuk ke tempat ATM, ada nondifabel netra yang perlu dibantu security. Sedangkan saya, tidak pernah," kata laki-laki yang hobi jogging sebelum penglihatannya semakin menurun tersebut.

Tentunya, Ivan tidak ingin hal ini terjadi di masa mendatang. Baginya, tunanetra tidak memerlukan belas kasihan. Yang dibutuhkan tunanetra adalah kesempatan yang luas dan turut diajak terlibat dalam beragam hal.

"Saya berharap, jika di Indonesia ada yang mampu membuat sesuatu, coba lihat kami, libatkan kami. Jangan belas kasihan melulu yang dibuat. Katanya, adat ketimuran kita ramah tamah. Tapi ketika ada difabel netra, malah tereliminir," doanya.

Di negara lain, kepedulian untuk memposisikan semua orang dalam kondisi yang sama sangatlah tinggi. Tidak sedikit tunanetra yang bisa mengemban pendidikan hingga S3. Bahkan Ivan menyebut, setidaknya sudah ada 10 tunanetra yang menghasilkan dari blog sendiri. Ini sangat kontras dengan situasi di negeri ini.

8. Sebelumnya, Ivan pernah menjabat Ketua Departemen Pendidikan di Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia sebagai wujud nyata kepeduliannya

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Kepedulian Ivan tentang kaum tunanetra rupanya sudah terajut sejak lama. Jauh sebelum bekerja di Layanan Disabilitas Perpusnas RI, ia pernah mengemban jabatan Ketua Departemen Pendidikan di Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia. Bidang yang ia ampu sejalan dengan latar belakang pendidikannya, yaitu bidang pendidikan dan dakwah.

"Aktivitasnya lebih pada pembinaan pendidikan secara umum. 80 persennya pendidikan agama, sesuai dengan nama organisasinya. Pembinaan dengan teman-teman difabel netra. Karena tidak semua difabel netra bisa berkesempatan berintegrasi dengan nondifabel netra," tuturnya soal peranannya di organisasi tersebut.

Sayangnya, Ivan sudah tak aktif lagi di organisasi tersebut. Kepindahannya ke Depok dan aktivitasnya bekerja di Jakarta menjadi alasan mengapa ia melepas amanah tersebut.

9. Ivan tidak tahu apakah akan selamanya jadi tenaga perpustakaan. Yang pasti, ia ingin terus memberikan dampak besar pada masyarakat

Kisah Ivan Suswandar, Tenaga Perpustakaan Tunanetra yang Luar BiasaIDN Times/Febriyanti Revitasari

Saat kutanya apakah Ivan ingin selamanya bekerja di perpustakaan, ia jujur mengatakan tidak terpikirkan bekerja di sana selamanya. Namun ke mana pun ia akan bermuara nanti, ia ingin memastikan dirinya sanggup memberikan manfaat lebih.

"Kalau mau ke mana, tidak tahu. Belum terpikirkan. Paling tidak, bisa beraktivitas yang punya dampak lebih luas daripada yang sekarang," harapnya.

Ia pun menaruh pesan pada anak muda, khususnya tunanetra agar sering membaca dan menggunakan huruf Braille. Meski dimudahkan dengan hadirnya buku digital, dampak membaca buku Braille dengan digital berbeda. Alangkah baiknya tidak terlalu tersihir dengan kemajuan teknologi.

"Difabel netra yang lahir dengan teknologi maju, cenderung abai dengan huruf Braille. Padahal, itu sebutannya tidak enak. Orang yang tidak tahu huruf itu disebut buta huruf. Kalau mereka tidak tahu Braille, itu buta huruf juga," tutup penikmat buku keilmuan tersebut.

Tak terasa, jam telah menunjukkan pukul 12.07 WIB. Obrolan kami berdua berakhir di tengah suasana perpustakaan yang masih lengang. Ivan bangkit dan bergegas beribadah menuju musala. Dari kejauhan, kulihat tangannya menyusuri rak-rak buku dengan pegangan besi. Sesekali, pilar, dinding, serta meja dijadikan panduan sebelum kakinya menyentuh guiding block di lantai.

Itulah kisah Ivan Kuswandar, tenaga perpustakaan tunanetra yang luar biasa di Perpusnas RI. Banyak sekali hal yang bisa kita petik darinya. Mulai dari kegigihan, semangat, optimisme, serta kepedulian terhadap sesamanya yang tunanetra. Bagaimana kamu yang masih memiliki fisik sempurna? Ada baiknya sosok Ivan dapat kamu renungi untuk ditiru.

Baca Juga: Kisah Dua Anak Teroris Bangkit dari Puing-Puing Radikalisme

Topik:

  • Febriyanti Revitasari
  • Elfida

Berita Terkini Lainnya