Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sadari, Ini 5 Ciri Kamu Terlalu Dominan dalam Hubungan!

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Alex Green)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Alex Green)
Intinya sih...
  • Kamu selalu mengambil keputusan tanpa diskusi.
  • Kamu terlalu sering mengatur waktu dan aktivitas pasangan.
  • Kamu mudah tersinggung saat pasangan punya pendapat berbeda.

Tanpa disadari, keinginan untuk menjaga arah sebuah hubungan bisa berubah menjadi kebutuhan untuk mengendalikan. Ada kalanya peran dominan dalam hubungan terasa seperti bentuk perhatian, padahal bisa saja itu justru menekan ruang gerak pasangan. Dalam hubungan sehari-hari, kecenderungan seperti ini kerap muncul dalam bentuk kecil misalnya memilihkan, mengatur, hingga mengarahkan dan semuanya dilakukan dengan dalih “demi kebaikan bersama”.

Padahal, ketika satu pihak terlalu mendominasi, keseimbangan hubungan pun perlahan tergeser. Jika dibiarkan terus-menerus, relasi bisa berubah menjadi medan satu arah, bukan lagi tempat saling tumbuh. Agar kamu bisa mengenali tanda kalau kamu dominan atau tidak dalam hubungan, berikut lima tanda yang bisa kamu perhatikan.

1. Kamu selalu mengambil keputusan tanpa diskusi

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Keira Burton)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Keira Burton)

Dalam sebuah hubungan, pengambilan keputusan seharusnya menjadi proses bersama. Jika kamu cenderung langsung menetapkan pilihan tanpa mempertimbangkan pandangan pasangan, hal ini bisa jadi salah satu sinyal dominasi. Tidak semua keputusan memang perlu dirundingkan panjang, tetapi ketika hampir semua hal kamu tentukan sendiri, pasangan akan merasa perannya terpinggirkan. Bahkan jika niatnya baik, dampaknya tetap bisa membuat relasi terasa berat sebelah.

Lama-kelamaan, kebiasaan ini bisa mengikis rasa percaya dan saling keterlibatan. Pasangan bisa merasa tidak dianggap cukup penting untuk dilibatkan. Akhirnya, mereka akan lebih memilih diam atau bahkan menjauh secara emosional. Keseimbangan dalam relasi dibentuk dari rasa dihargai, bukan hanya hasil dari keputusan yang terlihat logis atau efisien.

2. Kamu terlalu sering mengatur waktu dan aktivitas pasangan

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Budgeron Bach)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Budgeron Bach)

Kepedulian bisa berubah menjadi kendali saat kamu mulai mengatur siapa yang boleh ditemui, ke mana ia boleh pergi, bahkan jam berapa ia harus pulang. Bila hampir semua agenda pasangan selalu perlu "izin" dari kamu, itu bukan lagi bentuk sayang, melainkan kontrol. Kebebasan pribadi seharusnya tetap dijaga meski dalam hubungan yang dekat sekalipun.

Tentu boleh memberi saran atau mengungkapkan ketidaknyamanan, tapi jika semua keputusan akhirnya harus sesuai dengan kehendakmu, pasangan akan merasa terbatasi. Aktivitas di luar hubungan pun penting untuk keseimbangan hidup. Jika kamu merasa terganggu setiap kali pasangan punya waktu sendiri, itu saatnya meninjau ulang apakah sikap dominanmu sudah melewati batas wajar.

3. Kamu mudah tersinggung saat pasangan punya pendapat berbeda

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/RDNE Stock project)

Perbedaan pandangan seharusnya jadi ruang bertukar pikiran, bukan pemicu konflik. Bila kamu merasa tersinggung atau langsung menutup diri ketika pasangan menyampaikan hal yang tidak sejalan, bisa jadi kamu terbiasa untuk “selalu benar”. Dalam hubungan yang sehat, keberanian untuk berbicara dan berdiskusi adalah bagian penting dari kedewasaan bersama.

Ketika kamu lebih sering memaksakan sudut pandang sendiri dan tidak memberi ruang pada argumen pasangan, maka relasi berubah menjadi ajang dominasi. Padahal, keintiman justru tumbuh saat dua pihak bisa jujur dan saling mendengarkan. Bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi tentang saling memahami satu sama lain dan berkembang bersama pasangan.

4. Kamu merasa perlu mengetahui semua hal tentang pasangan secara detail

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Keira Burton)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/Keira Burton)

Rasa ingin tahu dalam hubungan itu wajar, tetapi jika kamu merasa wajib tahu semua hal hingga hal-hal kecil yang tak penting sekalipun, itu bisa mengarah ke sikap posesif. Apalagi jika setiap jawaban pasangan selalu kamu korek ulang karena tidak percaya begitu saja. Sikap seperti ini bukan lagi bentuk perhatian, tapi mencerminkan ketidakamanan yang dibungkus dengan dalih “kebutuhan untuk tahu”.

Menghormati privasi adalah bagian dari mencintai. Tidak semua hal perlu dibagi secara rinci, apalagi jika sebenarnya tidak berdampak langsung pada hubungan. Jika kamu merasa tenang hanya setelah semua informasi ada di tanganmu, mungkin yang perlu dipertanyakan bukan pasanganmu, melainkan rasa aman dalam dirimu sendiri.

5. Kamu mengukur kasih sayang dari sejauh apa pasangan mengikuti kehendakmu

ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi dominan dalam hubungan (pexels.com/RDNE Stock project)

Tanda paling halus namun paling berbahaya dari dominasi adalah ketika kamu merasa dicintai hanya jika pasangan menuruti semua keinginanmu. Seolah-olah bentuk sayang harus diukur dari seberapa sering pasangan mengalah atau berkata “iya”. Padahal hubungan yang sehat tumbuh dari kesediaan dua orang individu untuk tetap menjadi diri sendiri tanpa merasa harus tunduk pada salah satu diantara mereka.

Jika kamu mulai merasa terancam saat pasangan punya suara berbeda atau mengambil inisiatif sendiri, mungkin ada bagian dari dirimu yang perlu dilihat lebih dalam. Hubungan bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi bagaimana dua individu saling menjaga ruang tumbuh. Dominasi dalam hubungan bukan bentuk cinta, dan cinta bukan soal mengontrol pasangan semau kamu.

Menjadi dominan dalam hubungan bukan berarti kamu jahat atau sepenuhnya salah. Kadang itu muncul dari luka lama, rasa takut kehilangan, atau keinginan kuat untuk merasa aman. Tapi ketika dominasi mengambil alih dinamika relasi, saatnya untuk meninjau kembali cara mencintai. Hubungan yang sehat lebih menekankan tentang kesetaraan, bukan tentang siapa yang memimpin hubungan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us