Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tanda Halus Kamu Hanya Dijadikan ‘Emergency Friend’

Ilustrasi seorang wanita memegang ponsel (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Ilustrasi seorang wanita memegang ponsel (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Intinya sih...
  • Mereka hanya muncul saat ada masalahKamu jadi orang pertama yang dihubungi saat mereka galau, stres, atau ada masalah pribadi.
  • Cerita mereka mendominasiSetiap kali ngobrol, topiknya selalu tentang mereka—masalah mereka, kehidupan mereka, drama mereka.
  • Mereka tidak pernah tahu apa yang sedang kamu alamiMereka jarang bertanya tentang kabarmu dan relasi yang sehat dibangun dari rasa ingin tahu yang tulus satu sama lain.

Pernah gak sih kamu merasa dekat dengan seseorang, tapi tiba-tiba sadar mereka hanya hadir saat butuh saja? Entah itu curhat tengah malam, minta bantuan mendadak, atau sekadar butuh teman agar tidak merasa sendiri. Setelah itu? Hilang. Seolah-olah kamu adalah tombol darurat yang mereka tekan hanya saat krisis. Situasi ini sering terjadi tanpa kita sadari, terutama di usia muda ketika batas antara kebaikan hati dan dimanfaatkan sering kabur.

Kalau kamu pernah merasakan ketidaknyamanan yang gak bisa dijelaskan dari hubungan ini, mungkin saatnya kamu mengenali tanda-tanda halus kamu hanya dijadikan ‘emergency friend’. Simak baik-baik, dan mari kita refleksi bareng.

1. Mereka hanya muncul saat ada masalah

Ilustrasi dua orang wanita sedang curhat (Pexel.com/Liza Summer)
Ilustrasi dua orang wanita sedang curhat (Pexel.com/Liza Summer)

Kamu bisa tidak mendengar kabar dari mereka berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi saat mereka galau, stres, atau ada masalah pribadi, tiba-tiba kamu jadi orang pertama yang dihubungi. Seakan kamu adalah ‘penampung’ segala keluh kesah, bukan bagian dari kehidupan mereka yang utuh.

Kalau ini sering terjadi, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Ada kemungkinan kamu memang dipandang sebagai sosok yang aman dan suportif. Tapi ingat, hubungan yang sehat bukan cuma hadir saat badai, tapi juga di hari cerah.

2. Cerita mereka mendominasi

Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/Edmond Dantès)
Ilustrasi dua orang wanita (Pexels.com/Edmond Dantès)

Setiap kali ngobrol, topiknya selalu tentang mereka—masalah mereka, kehidupan mereka, drama mereka. Sementara saat kamu mulai bercerita, entah mereka cepat-cepat mengganti topik, memberikan respons singkat, atau bahkan menghilang begitu saja.

Ini bukan komunikasi dua arah, tapi lebih mirip siaran radio satu arah. Padahal, teman sejati itu saling mendengar, bukan sekadar didengarkan. Kalau kamu selalu jadi pendengar setia tanpa ruang untuk didengar, bisa jadi peranmu hanya sebagai ‘alat bantu’ emosional sementara.

3. Mereka tidak pernah tahu apa yang sedang kamu alami

Ilustrasi seorang pria memegang ponsel (Pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi seorang pria memegang ponsel (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali mereka bertanya tentang kabarmu, bukan cuma basa-basi? Kalau kamu lagi sakit, sedih, atau berjuang menghadapi tantangan hidup, apakah mereka tahu? Atau malah kamu terbiasa menyembunyikan semuanya karena merasa “mereka gak akan peduli juga”?

Relasi yang sehat dibangun dari rasa ingin tahu yang tulus satu sama lain. Kalau hubungan itu cuma berjalan satu sisi, kamu mungkin sedang memainkan peran yang tidak seimbang. Dan lama-lama, itu bisa mengikis harga dirimu sendiri.

4. Ada perasaan “kewajiban emosional” yang tidak pernah dibalas

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kamu merasa “bersalah” jika tidak membalas pesan mereka, bahkan saat kamu sendiri sedang lelah. Kamu merasa harus selalu ada, harus membantu, harus mendengarkan—tapi saat kamu butuh, gak ada orang yang hadir untukmu. Ini bukan sekadar empati, ini sudah jadi beban emosional sepihak.

Dalam hubungan yang sehat, ada ruang untuk istirahat, ada jeda untuk memulihkan diri. Tapi kalau kamu selalu dipanggil saat darurat dan diabaikan saat kamu hancur, itu bukan hubungan, itu kerja lembur emosional yang gak dibayar.

5. Kamu merasa lelah setelah bertemu mereka

Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Ilustrasi seorang wanita (Pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Setelah sesi ngobrol atau ketemuan, bukannya merasa lebih ringan atau bahagia, kamu malah merasa capek, kosong, atau bahkan mempertanyakan dirimu sendiri. Ini adalah tanda bahwa hubungan itu tidak menyehatkan secara emosional, meski kamu tidak bisa langsung menunjuk apa yang salah.

Intuisi tidak pernah bohong. Kalau kamu terus-menerus merasa terkuras, mungkin karena kamu bukan sedang menjalin hubungan, tapi sedang jadi "layanan darurat berjalan". Dan kamu pantas mendapatkan lebih dari itu.

Kadang kita terlalu sibuk menjadi segalanya untuk orang lain, sampai lupa bertanya: siapa yang jadi segalanya untuk kita? Memilih menjauh dari hubungan yang tidak seimbang bukan berarti kamu egois—itu bentuk cinta terhadap dirimu sendiri. Teman yang baik tidak akan muncul hanya saat mereka tenggelam, tapi juga akan mengangkatmu ketika kamu hampir karam.

Jadi, yuk mulai berani menyaring hubungan dalam hidupmu. Bukan untuk menjadi dingin, tapi agar kamu bisa memberikan versi terbaik dari dirimu kepada orang yang benar-benar peduli. Kamu layak untuk dicintai, bukan hanya dimanfaatkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us