Fiona Anjani Bicara Soal Perempuan di Kepemimpinan, Apa Tantangannya?

Intinya sih...
Gender bias sering menjadi tantangan utama perempuan sebagai pemimpin, terlebih jika lingkungannya mayoritas laki-laki.
Ambisi perempuan sering disalahartikan sebagai meninggalkan kewajiban utama, padahal perempuan berhak memiliki multi-roles dan mengejar tujuan hidupnya.
Tiga nilai utama bagi perempuan yang ingin berkarier sebagai pemimpin: berdaya, peka terhadap sekitar, memiliki niat baik dan positif.
Jakarta, IDN Times - Perempuan yang duduk di posisi strategis dalam dunia kerja, masih sering menghadapi tantangan yang tak kasat mata, mulai dari ekspektasi sosial, stereotip, hingga tekanan untuk selalu tampil serba bisa. Namun bagi Fiona Anjani, Chief Marketing Officer (CMO) Scarlett, kepemimpinan perempuan adalah soal perspektif, kepekaan, dan ketulusan untuk memimpin tim secara autentik dan berdampak. Dalam wawancara eksklusif bersama IDN Times pada Jumat (16/5/2025) secara daring, Fiona membagikan refleksi serta nilai-nilai yang ia pegang teguh sebagai perempuan pemimpin.
Bagi Fiona, pemberdayaan perempuan bukan sekadar narasi besar, melainkan dimulai dari hal yang paling mendasar: perempuan punya sudut pandang sendiri dan mampu mengambil keputusan yang tepat atas pilihannya. Nilai itu pula yang ia pelajari dari ibunya sejak kecil. Sosok sang ibu menjadi inspirasi awal Fiona untuk percaya bahwa perempuan bisa berdaya tanpa kehilangan jati dirinya.
Melalui peran strategisnya di Scarlett, Fiona juga mendorong berbagai inisiatif seperti program Scarlett Beauty Impact hingga kampanye ke kampus-kampus soal self-love lewat perawatan diri. Yuk, simak di bawah ini pandangan Fiona tentang bagaimana posisi perempuan di kepemimpinan hingga pemberdayaan sebagai fondasi utama perempuan!
1. Secara umum, gender bias sering menjadi tantangan utama perempuan sebagai pemimpon
Secara personal, Fiona berada di lingkungan yang suportif dan mendukungnya secara penuh. Namun, menurut Fiona, jika dilihat secara general, terlebih jika lingkungannya mayoritas laki-laki, biasanya kita sebagai perempuan harus usaha lebih besar. Bisa dikatakan, secara umum, gender bias menjadi salah satu tantangan utama bagi perempuan yang berkarier, terlebih sebagai pemimpin.
"Untungnya, saya gak pernah ada di lingkungan yang punya gender bias. Karena kalau misalnya ada, apalagi kalau lingkungannya mayoritas laki-laki, biasanya usaha kita harus lebih besar, ya. Begitu juga di pekerjaan, dari awal saya bekerja, saya sudah berada di lingkungan yang tidak gender bias," kata Fiona.
Banyak perempuan yang harus menghadapi ekspektasi sosial yang membatasi. Mulai dari anggapan bahwa mereka harus memilih antara karier atau keluarga, hingga keraguan terhadap keputusan yang mereka buat. Hal-hal semacam ini membuat perempuan sering kali merasa perlu membuktikan diri lebih keras dibanding rekan laki-laki. Padahal, kemampuan memimpin seharusnya dinilai dari kompetensi, bukan berdasarkan gender.
2. Ambisi perempuan bukan masalah, tapi sering disalahartikan
Gender bias lainnya yang sering dirasakan oleh perempuan adalah pandangan masyarakat ketika mereka memiliki 'ambisi'. Perempuan yang berambisi sering kali dianggap 'meninggalkan' kewajiban utamanya. Apalagi, jika perempuan sudah menjadi istri atau ibu. Padahal, perempuan juga berhak untuk memiliki cita-cita, mengejar tujuan hidup, dan menjalani berbagai peran secara seimbang. Ambisi bukanlah hal negatif, justru bisa menjadi bentuk aktualisasi diri yang sehat dan bermakna bagi perempuan.
"Kasihan sebenarnya perempuan yang berambisi, sering disangka negatif karena dianggap neglecting peran utamanya sebagai perempuan, bahwa perempuan itu harusnya lebih jadi istri atau jadi ibu. Padahal sebenarnya, perempuan itu berhak untuk punya multi-roles, untuk bisa memang pursue tujuan, purpose, ataupun cita-citanya dia. Dan memang, at the end of the day, kita tidak bisa membahagiakan semua pihak karena everybody entitled untuk punya opini," lanjut Fiona.
Kesalahpahaman semacam ini sering kali membuat perempuan merasa perlu meredam potensi atau menyesuaikan diri demi diterima. Padahal, memiliki ambisi bukan berarti meninggalkan kodrat atau peran keluarga, melainkan menunjukkan bahwa perempuan mampu menjalani banyak peran secara bersamaan.
3. Tiga nilai utama bagi perempuan yang ingin berkarier sebagai pemimpin
Fiona Anjani juga menyampaikan beberapa nilai utama yang perlu diterapkan perempuan ketika akan memulai kariernya sebagai pemimpin. Hal paling utama adalah bagaimana perempuan itu bisa berdaya karena bisa membuat perempuan memiliki sudut pandangnya sendiri. Itu juga membuat perempuan bisa memiliki direction terhadap dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya.
Fiona melanjutkan, "Kedua, perempuan juga harus peka terhadap sekitar karena itu juga mungkin menjadi salah satu traits utama untuk perempuan. Nah, kita dengan kepekaan ini, bisa penting untuk menjaga dinamika dari tim kita sendiri."
Terakhir, menurutnya penting bagi seorang pemimpin memiliki niat baik dan positif serta meyakini bahwa orang lain pun memiliki itikad yang baik. Sebab, tanpa hal tersebut, akan mudah muncul pandangan negatif atau perasaan yang bisa memicu politik kantor dan menciptakan suasana kerja yang kurang kondusif.
4. Bagi Fiona, pemberdayaan adalah ketika perempuan memiliki stance dan POV sendiri
Berbicara soal pemberdayaan, Fiona menegaskan bahwa pemberdayaan jadi fondasi penting bagi perempuan. Ketika perempuan berdaya, maka ia memiliki point of view dan pendirian sendiri. Dengan begitu, perempuan tidak mudah terbawa arus. Pemberdayaan juga bisa menjadi nilai untuk membuat perempuan semakin percaya diri.
"Empowerment itu lebih ke arah bahwa perempuan punya personal point of view. Karena, banyak orang di Indonesia tuh ikut-ikutan, FOMO lah ya. Jadi, empowerment yang penting buat saya tuh, ya dia punya sudut pandang sendiri dan itu bisa diambil karena kalau dia ngerti pemahamannya dan juga bisa mengambil keputusan. Itu adalah bentuk empowerment yang utama," lanjut dia.
Salah satu pemicu bagi Fiona hingga ia memahami bahwa pemberdayaan merupakan hal yang penting, datang dari ibunya sendiri. Ibunda dari Fiona juga merupakan seorang ibu yang bekerja. Ia terinspirasi dari ibunya yang cukup independen dan berdaya sehingga tidak bertumpu pada orang lain.
"Saya melihat ibu saya yang juga seorang ibu bekerja. Jadi, saya melihat dia cukup independen, berdaya, dan punya pekerjaan sendiri. Jadi, dia tidak bertumpu pada orang lain. Dari rumah sendiri, saya sudah langsung bisa melihat contoh nyata gimana perempuan bisa berdaya dan independen," katanya.
5. Fiona dan Scarlett juga mendukung women empowerment lewat beberapa programnya
Scarlett, brand yang identik dengan produk kecantikan, memiliki keterikatan kuat dengan perempuan, baik dari sisi tim internal maupun konsumen. Fiona menjelaskan, lebih dari 60 persen karyawannya adalah perempuan, mayoritas dari generasi Z. Dari sisi konsumen pun, sekitar 90 persen adalah perempuan. Kedekatan inilah yang membuat Scarlett merasa perlu memberi dampak positif kembali pada komunitas perempuan. Salah satunya lewat inovasi produk.
Selain lewat produk, Scarlett juga menunjukkan komitmennya melalui program Scarlett Beauty Impact. Program ini dibangun di atas dua pilar utama: pemberdayaan perempuan dan kesejahteraan hidup (wellness & livelihood). Scarlett ingin mendorong perempuan muda, terutama Gen Z dan Gen Alpha, untuk tetap berkembang dan mampu menjadi generasi perempuan masa depan yang tangguh, mandiri, serta percaya diri terhadap identitas mereka sendiri.
Salah satu bentuk nyata dari pilar pemberdayaan perempuan adalah program Scarlett Goes to Campus. Lewat inisiatif ini, Scarlett hadir langsung di kampus-kampus untuk mengedukasi mahasiswi tentang pentingnya skin investment sebagai bentuk self-love.
"Nah, mungkin kalau untuk yang specifically dari women empowerment sendiri, kita tuh lakukan dengan melakukan goes to campus, gitu ya. Di situ kan, kita di kampus nih bisa memberikan pemahaman terhadap skin investment, nih. Karena kan skin investment ini adalah bentuk dari self-love, ya. Jadi, gimana kamu menjaga kesehatan atau kulit karena merawat kulit itu bukan hanya untuk tampil cantik, tapi juga tampil sehat pastinya dan tampil percaya diri," jelas Fiona.
Menjadi salah satu rangkaian dari Scarlett Beauty Impact, Scarlett juga berkolaborasi dengan Yayasan Senyum Kita dan meluncurkan program beasiswa bertajuk Level Up Your Dream untuk 20 perempuan muda jenjang SMA hingga perguruan tinggi di Yogyakarta. Program ini sudah berjalan dan ditandai dengan simbolisasi seremoni penyerahan beasiswa yang digelar di Antologi Collaborative Space, Yogyakarta pada Minggu (22/06/2025) silam. Beasiswa ini mencakup biaya pendidikan selama 1 tahun, tunjangan kehidupan pribadi, produk Scarlett, hingga pelatihan soft skills. Upaya ini menegaskan bahwa bagi Scarlett Beauty Impact, bukan hanya soal kecantikan, tapi juga soal akses terhadap masa depan yang lebih baik bagi perempuan Indonesia.
6. Pesan Fiona bagi perempuan yang akan memulai kariernya
Di akhir wawancara, Fiona menyampaikan pesannya untuk perempuan yang akan memulai kariernya. Fiona menyadari bahwa perempuan sering kali terbelenggu oleh berbagai stigma atau standar sosial tertentu. Namun, menurut Fiona, perempuan yang berdaya itu harus bisa otentik menjadi dirinya sendiri. Perempuan yang berdaya itu akan merasa nyaman untuk memproyeksikan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Perempuan berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Jadi, gak perlu memaksakan diri untuk ikut-ikutan stereotip atau arus demi memuaskan ekspektasi orang lain," kata Fiona.
Fiona juga berpesan untuk jangan pernah berhenti evaluasi dan refleksi diri. Penting juga untuk terus menambah wawasan dan belajar. Menurutnya, jangan pernah takut menghadapi kegagalan karena itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah proses. Kegagalan merupakan esensi dari sebuah kesuksesan.
Demikian kisah dari Fiona Anjani sebagai CMO Scarlett. Poin pemberdayaan dan kepercayaan diri sebagai perempuan bisa menjadi bekal untuk kita gak berhenti bermimpi serta berambisi. Semoga menginspirasi, ya!