6 Dilema yang Cuma Dimengerti First Jobber di Kota Besar, Ngerasain?

Menjadi first jobber di kota besar merupakan bentuk dari euforia sekaligus kebimbangan. Ada rasa bangga saat pertama kali mendapat gaji, tapi juga ketidaktahuan soal bagaimana mengelolanya. Ada dorongan untuk selalu berhasil, tapi juga kegelisahan saat menyadari bahwa ukuran keberhasilan semakin beranak, nih.
Di tengah hiruk pikuk metropolitan, para pekerja muda ini sering kali berada di persimpangan dilema yang tak terlihat, yaitu dilema yang tidak selalu dibicarakan secara terbuka, tetapi sangat berdampak. Well, inilah enam dilema modern yang kerap menghantui first jobber di kota besar, ditulis bukan untuk menawarkan solusi pasti, melainkan untuk menjadi cermin bagi mereka yang sedang melaluinya, termasuk kamu!
1. Antara menabung atau membayar "harga sosial"

Memang, gaji pertama akan datang seperti angin segar yang lama dinanti. Tetapi, nih, tak butuh waktu lama sebelum ia menghilang dalam bentuk makan-makan, ngopi dengan rekan kantor, atau sekadar membelikan hadiah untuk keluarga. Di kota besar, ada semacam “harga sosial” yang dibayar demi terlihat layak dan bisa diterima, apalag ia kalau bukan traktiran, ikut weekend brunch, hingga tampil rapi setiap hari.
Menabung seakan menjadi sesuatu yang mustahil, bukan karena tidak cukup, melainkan karena ada kebutuhan untuk menunjukkan bahwa seseorang layak berada di dunia kerja. Ada dilema antara menyusun pondasi keuangan jangka panjang atau merawat relasi sosial yang bersifat jangka pendek tapi menjadi mendesak.
2. Menjadi ambisius atau tahu diri

Nyatanya, narasi tentang “kerja keras demi masa depan” begitu mendominasi percakapan di media sosial dan kantor. Sering kali, first jobber merasa terdorong untuk selalu tampil prima, aktif, dan solutif, seolah tidak boleh lelah atau bingung. Namun, di balik itu semua, ada suara kecil yang bertanya, apakah ini jalan hidup yang benar-benar aku inginkan?
Dilema muncul saat ambisimu mulai berbenturan dengan keinginan untuk hidup pelan-pelan. Di saat pencapaian bukan lagi soal medali, tapi tentang kesehatan mental yang nyaris terkikis. Di satu sisi, menjadi ambisius dianggap perlu untuk bertahan dan naik kelas, tetapi, nih, di sisi lain, tahu diri adalah bentuk perlindungan agar tidak terbakar sebelum waktunya.
3. Membuktikan diri atau bertanya lagi

Banyak first jobber merasa harus membuktikan bahwa mereka pantas berada di posisi saat ini. Apalagi kalau mereka datang dari latar belakang yang tidak sepenuhnya “privilege.” Tapi dalam prosesnya, ada dorongan untuk menerima semua tugas, meski melebihi kapasitas, bahkan tanpa kompensasi yang jelas.
Di tengah tekanan untuk selalu perform, muncul pertanyaan yang samar tapi tak bisa diabaikan, yaitu apakah ini pekerjaan yang ingin aku jalani lima tahun ke depan? Apakah aku memilih karena ini, atau karena tidak ada pilihan lain saat itu? Dilema ini bukan tentang rasa syukur atau tidak, melainkan tentang keberanian untuk bertanya kembali, saat semua orang tampaknya sibuk menjawab, ya!
4. Pindah kerja cepat atau bertahan demi stabilitas

Pada kenyataannya, pasar kerja urban sangat dinamis. Tawaran baru datang lebih cepat daripada dulu. Di sisi lain, sistem kerja dan relasi kantor kadang belum siap menghadapi kenyataan bahwa pekerja muda bisa berpindah dalam hitungan bulan. So, muncullah dilema antara berpindah demi kesempatan yang lebih baik atau bertahan demi reputasi profesional yang stabil.
Pindah kerja cepat kadang dianggap tidak loyal, padahal bisa jadi itu bentuk keberanian untuk tidak kompromi terhadap ketidakadilan. Namun bertahan pun bukan berarti lemah, bisa jadi itu bentuk kesabaran strategis. Yang menjadi problem adalah pilihan ini sering diambil dalam kondisi serba tidak pasti, tanpa tahu mana yang akan benar-benar memberi arah.
5. Balik ke kota asal atau bertahan demi cita-cita

Ada orang yang bekerja di kota besar namun itu bukan pilihannya. Banyak yang terpaksa merantau demi mendapatkan pekerjaan. Ketika lelah dan kesepian mulai menyapa, muncul godaan untuk kembali ke kota asal, di mana segalanya terasa lebih akrab dan murah. Namun ada pula yang merasa bersalah kalau pulang sebelum “membuktikan sesuatu.”
Bertahan di kota besar bukan sekadar keputusan logistik, tetapi juga emosional. Ia menyentuh pertanyaan eksistensial, seperti apakah hidupku akan berarti kalau aku tidak di sini? Dilema ini tidak jarang membuat first jobber merasa terjebak di antara dua dunia, satu yang dikenalnya baik dan satu lagi yang dijanjikan lebih baik tapi belum terasa nyata.
6. Menjadi versi terbaik atau menerima kekacauan diri

Di era media sosial, identitas profesional dan personal sering kali tumpang tindih. Ada dorongan untuk selalu menjadi versi terbaik dari diri sendiri, seperti produktif, teratur, sehat mental, spiritual, dan finansial. Namun realitasnya, banyak dari first jobber justru sedang berada dalam proses membongkar ulang siapa dirinya sebenarnya.
Dilema terbesar muncul ketika seseorang merasa tidak sanggup memenuhi ekspektasi tentang "keseimbangan hidup." Haruskah ia terus berusaha memperbaiki diri dengan standar yang nyaris utopis, ataukah ia mulai berdamai dengan fakta bahwa dirinya juga manusia biasa, yang tidak selalu tahu harus ke mana?
Dilema-dilema ini bukan tanda kegagalan, melainkan bagian dari proses menjadi dewasa dalam lanskap modern yang serba cepat dan kompetitif. First jobber bukan hanya pekerja pemula, tapi mereka adalah perancang kehidupan awal yang penuh kemungkinan dan risiko. Mereka belum tentu punya jawaban pasti untuk setiap pertanyaan, tapi mereka sedang belajar merumuskan pertanyaan yang tepat. Dan mungkin, di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang bisa dipegang bahwa ketidaktahuan hari ini adalah ruang tempat keberanian dan kejujuran bisa tumbuh. Bahwa hidup tidak harus jelas sejak awal, tapi harus terus diperjuangkan agar terasa bermakna.