Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tekanan Jadi Breadwinner yang Bikin Banyak Cowok Burnout

illustrasi burnout (freepik.com/atlascompany)
illustrasi burnout (freepik.com/atlascompany)
Intinya sih...
  • Tuntutan finansial sebagai breadwinner terasa tak berujung, membuat banyak cowok merasa gagal dan cemas akan masa depan.
  • Laki-laki sering kesulitan mengeluh dan minta tolong karena budaya diam yang melekat, membuat mereka rentan mengalami burnout.
  • Peran ganda laki-laki di rumah dan di luar rumah sering kali kurang diakui, menimbulkan rasa lelah fisik dan emosional.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam banyak budaya, laki-laki masih sering ditempatkan sebagai tulang punggung keluarga, sosok yang wajib memenuhi kebutuhan finansial rumah tangga. Meski zaman sudah berubah, ekspektasi ini belum sepenuhnya bergeser. Beban jadi pencari nafkah utama sering kali datang tanpa kompromi. Bahkan, ketika situasi tidak memungkinkan, tekanan ini tetap berjalan seakan tak ada pilihan lain.

Tekanan tersebut bukan cuma soal materi. Ada tanggung jawab moral, tuntutan sosial, hingga rasa malu jika gagal memenuhi ekspektasi. Di balik senyum dan kerja keras, banyak laki-laki menyembunyikan kelelahan fisik dan mental yang mereka rasakan. Gak sedikit dari mereka akhirnya mengalami burnout parah, bahkan sampai kehilangan arah dan semangat hidup. Berikut ini lima tekanan besar sebagai breadwinner yang membuat banyak cowok merasa kelelahan secara emosional dan mental.

1. Tuntutan finansial yang gak pernah ada habisnya

illustrasi burnout (freepik.com/katemangostar)
illustrasi burnout (freepik.com/katemangostar)

Tuntutan keuangan sebagai pencari nafkah utama terasa seperti lubang tanpa dasar. Gaji yang sudah dibagi sedemikian rupa sering kali masih belum cukup menutup semua kebutuhan. Mulai dari bayar tagihan, cicilan, biaya hidup harian, sampai kebutuhan keluarga besar, semuanya terasa menumpuk tanpa jeda. Bahkan ketika sudah berhemat, selalu saja ada pengeluaran mendadak yang sulit dihindari.

Hal ini membuat banyak cowok merasa gagal walau sudah bekerja sekeras mungkin. Mereka terjebak dalam pola pikir bahwa nilai diri diukur dari seberapa besar uang yang bisa dibawa pulang. Padahal, tekanan seperti ini secara perlahan menggerus ketenangan batin. Rasa cemas dan takut akan masa depan jadi teman harian yang sulit disingkirkan.

2. Minimnya ruang untuk mengeluh dan minta tolong

illustrasi burnout (freepik.com/freepik)
illustrasi burnout (freepik.com/freepik)

Laki-laki sering dibesarkan dengan pola pikir bahwa mereka harus kuat, gak boleh mengeluh, dan selalu mampu mengatasi masalah sendiri. Hal ini menciptakan budaya diam yang berbahaya. Ketika merasa tertekan, mereka memilih memendam semuanya karena takut dianggap lemah atau gak berguna. Padahal, menyimpan semuanya sendirian hanya memperparah kondisi mental.

Ketika beban sudah terlalu berat dan gak tahu harus bicara ke siapa, burnout jadi dampak yang paling terasa. Mereka mulai kehilangan motivasi kerja, mudah tersinggung, bahkan merasa hidupnya berjalan tanpa makna. Kurangnya dukungan emosional ini membuat laki-laki lebih rentan mengalami depresi dalam diam. Sering kali mereka baru mencari pertolongan saat sudah sangat terlambat.

3. Peran ganda tanpa pengakuan

illustrasi burnout (unsplash.com/Sander Sammy)
illustrasi burnout (unsplash.com/Sander Sammy)

Banyak laki-laki modern gak cuma bekerja di luar rumah, tapi juga berperan aktif di dalam rumah. Namun, peran ganda ini sering kali gak mendapatkan pengakuan yang seimbang. Masyarakat masih cenderung menilai bahwa kewajiban utama laki-laki adalah mencari uang, sementara urusan domestik dianggap bukan prioritas mereka. Akibatnya, mereka merasa lelah secara fisik dan emosional, namun tetap merasa kurang dihargai.

Tekanan ini makin terasa ketika harus membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mereka dituntut untuk tetap produktif, tetapi juga hadir sebagai ayah, suami, atau anak yang bertanggung jawab. Dalam kondisi seperti ini, gak jarang muncul rasa putus asa karena merasa usaha yang dilakukan selalu kurang. Kondisi ini perlahan membuat mental rapuh, meski secara fisik masih terlihat kuat.

4. Ketakutan akan gagal dan rasa malu sosial

ilustrasi burnout (freepik.com/DC Studio)
ilustrasi burnout (freepik.com/DC Studio)

Kegagalan finansial sering kali dianggap sebagai aib bagi seorang laki-laki. Ketika mengalami kesulitan ekonomi, mereka bukan cuma khawatir soal kelangsungan hidup keluarga, tapi juga takut dijudge oleh lingkungan. Stigma bahwa pria harus selalu mampu menyuplai kebutuhan keluarga menjadi tekanan sosial yang luar biasa besar.

Ketakutan ini mendorong banyak laki-laki mengambil keputusan ekstrem, seperti kerja lembur tanpa henti, mengambil pekerjaan tambahan, atau bahkan terjun ke investasi berisiko tinggi. Semua itu dilakukan demi menjaga citra dan harga diri. Padahal, keputusan tersebut kadang justru memperburuk situasi. Ketegangan mental yang terjadi terus-menerus dapat merusak kualitas hidup, bahkan hubungan dengan orang-orang terdekat.

5. Kesulitan menemukan makna hidup di luar peran pencari nafkah

ilustrasi burnout (freepik.com/freepik)
ilustrasi burnout (freepik.com/freepik)

Banyak cowok merasa identitas dirinya hanya terpaku pada peran sebagai pencari nafkah. Ketika tidak bisa memenuhi ekspektasi ini, mereka merasa kehilangan harga diri. Kesulitan dalam menemukan makna hidup yang lebih luas membuat mereka terjebak dalam rutinitas yang terasa hampa. Bahkan saat semua kebutuhan keluarga terpenuhi, ada perasaan kosong yang gak bisa dijelaskan.

Menemukan tujuan hidup di luar aspek finansial sangat penting untuk menjaga kesehatan mental. Namun, tekanan sebagai breadwinner sering kali menutupi peluang untuk mengeksplorasi sisi lain dari diri sendiri. Hal ini membuat banyak laki-laki lupa bahwa mereka juga butuh berkembang secara emosional, spiritual, dan sosial. Tanpa keseimbangan ini, kelelahan mental hanya akan terus menumpuk.

Menjadi breadwinner memang bukan peran yang ringan, apalagi ketika ekspektasi datang dari berbagai arah. Penting bagi laki-laki untuk menyadari bahwa kekuatan bukan berarti menanggung segalanya sendirian. Mengakui keterbatasan bukan bentuk kelemahan, melainkan langkah bijak untuk menjaga kesehatan mental. Hidup yang seimbang justru dimulai dari keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Wahyu Kurniawan
EditorWahyu Kurniawan
Follow Us