“Jujur, awalnya kami gak kepikiran, karena challenging banget,” kata Oby Reza, Co-founder Othman, saat peluncuran koleksi kolaborasi tersebut di store Iwan Tirta, PIM 2, Senin (24/11/2025).
“Othman sudah punya karakter pattern kuat dan Iwan Tirta juga. Pertanyaannya: gimana cara menggaet dua kalangan itu jadi satu?” imbuhnya.
Othman x Iwan Tirta, Hadirkan Narasi Baru Batik Kontemporer

- Tantangan menyatukan dua identitas visual
- Legacy bertemu eksperimen
- Proses kreatif yang panjang, perlahan, dan penuh ketelitian
Jakarta, IDN Times - Ada kolaborasi yang lahir dari perhitungan bisnis dan ada pula yang lahir dari rasa penasaran artistik, yang kadang sedikit nekad namun penuh intuisi. Di antara lampu-lampu acara fashion urban, muncul kabar yang membuat banyak orang menoleh, di mana Othman dan Iwan Tirta, dua nama dengan identitas visual begitu kuat, resmi membangun sesuatu bersama. Satu dikenal melalui pattern kontemporer berenergi muda dan ritme grafisnya, sementara yang satu lagi adalah legenda batik yang menjejakkan jejak sejarah panjang kain Indonesia.
Di permukaan, keduanya tampak seperti dua semesta yang berbeda. Tetapi, justru di situ letak pesonanya. Bayangkan, bagaimana pola bertemu pola tanpa saling menenggelamkan? Bagaimana sebuah warisan menerima sentuhan masa kini tanpa kehilangan martabatnya? Kolaborasi ini menjadi jawabannya, sebuah percobaan kreatif yang berubah menjadi dialog lintas generasi, lintas estetika, dan lintas cara memandang batik.
1. Tantangan menyatukan dua identitas visual

Ternyata, jawabannya hadir lewat keberanian mengubah struktur desain. Semua cutting, styling, dan konstruksi dibuat ulang, seolah kolaborasi ini bukan sekadar menempel motif di atas kain, tetapi membangun bahasa fashion baru. Beberapa potongan dibuat dengan cara yang tak lazim dalam tradisi batik, seperti oversized cuts, modular layering, hingga styling yang lebih teatrikal.
Yang menarik, setiap item dibuat memiliki “back story” visual. Secara harfiah, bagian belakang tiap fashion piece dirancang berbeda, seperti dua kepribadian dalam satu karya. Sebuah metafora sederhana bahwa identitas tidak harus tunggal, ia bisa kaya, berlapis, dan bergerak bebas. Selain itu, setiap item juga disematkan motif batik yang berbeda, karena menggunakan kain batik perca.
Oleh karena itu, meski desain dan cutting sama, namun kamu dan orang lain akan memiliki tampilan yang berbeda. Keunikan ini jugalah yang membuat koleksi kolaborasi Othman dan Iwan Tirta patut dilirik dan dimiliki.
2. Legacy bertemu eksperimen

“Sebagai brand batik, kami terus bertanya: setelah ini, kami mau bikin apa?” ujar Widiyana Sudirman, CEO Iwan Tirta, menceritakan kegelisahan yang melahirkan kolaborasi ini.
Baginya, Iwan Tirta tidak boleh berhenti hanya sebagai pewaris budaya, tetapi harus menjadi brand yang meneruskan inovasi. Widi pun mengakui, bahwa ia menemukan titik temu ketika ia mengunjungi Brightspot, tempat ia jatuh cinta pada karakter Othman. Dari sanalah benang merah terhubung, antara tradisi bertemu keberanian visual.
Ia juga menyinggung satu isu penting, di mana kain perca sering dianggap gak punya value, padahal kain batik, mau perca atau tidak, tetap punya harga. Kalimat itu bukan keluhan, melainkan misi agar generasi muda melihat batik bukan sebagai benda museum, tetapi sesuatu yang hidup, relevan, dan layak dikenakan dengan bangga di runway, pesta urban, atau sekadar di kehidupan sehari-hari.
3. Proses kreatif yang panjang, perlahan, dan penuh ketelitian

Menurut Rindu Melati Pradnyasmita, Senior Brand Manager Iwan Tirta, proses ini bukan keputusan spontan. Namun perjalanan kreatifnya tidak instan, perlu 3–4 bulan riset dan pengembangan agar pola kedua brand dapat dipertemukan tanpa kehilangan esensi masing-masing.
“Sudah sejak lama kami ingin hadir di Brightspot dan selama ini kami mengamati. Dari banyak brand, Othman-lah yang paling tepat,” katanya.
Kolaborasi ini ibarat meronce dua DNA desain. Satu mewakili warisan luhur, satu lagi mewakili kultur urban masa kini. Hasilnya bukan sekadar koleksi, tetapi eksperimen budaya yang membuktikan bahwa tradisi dapat bertumbuh, berevolusi, dan bahkan menjadi liar tanpa kehilangan akarnya. Untuk harganya sendiri, koleksi ini dibanderol mulai dari Rp1,2 juta.
Kolaborasi Othman x Iwan Tirta bukan hanya tentang pakaian. Ini adalah percakapan antara masa lalu dan masa depan, antara craftmanship tradisional dan estetika kontemporer, antara batik yang penuh aturan dan fashion yang suka melanggar batas. Di balik seluruh detail, ada pesan sederhana bahwa pola, sebagaimana manusia dan budaya, tidak dibuat untuk berdiri sendiri, tetapi untuk menemukan tempat baru di ruang yang terus berubah.

















