10 Tahun Berkuasa, Ini Sederet Jejak Dosa Jokowi

Jakarta, IDN Times - Sepuluh tahun kekuasaan Joko "Jokowi" Widodo telah membawa Indonesia ke persimpangan tajam, janji reformasi berubah jadi kekuasaan yang represif jauh dari harapan demokrasi.
Alih-alih menghadirkan pemerintahan yang berpihak pada rakyat, rezim ini justru diwarnai dengan dosa yang mencerminkan kemunduran dalam hak asasi manusia, lingkungan, dan kebebasan sipil.
Awalnya, Jokowi dianggap simbol rakyat namun saat ini lebih dilihat sebagai pemimpin yang membuatkan oligarki dan koorporasi menguasai negara, di sisi lain rakyat semakin diinjak.
Di bawah kepimpinannya, pelanggaran HAM dibiarkan demi kepentingan modal seperti proyek Rempang ECO City. Dulu Jokowi dielukan namun kini meninggalkan kemunduran yang sulit diabaikan. Berikut deretan dosa Jokowi yang tidak diabaikan.
1. Janji penuntasan kasus HAM dianggap omong kosong
Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Suciwati menegaskan dua periode masa pemerintahan Presiden Jokowi dengan bukti bahwa janji-janji penegakan hukum dan HAM, termasuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang selama ini diucapkan ternyata hanyalah omong kosong.
Suci mengungkapkan penuntasan pelanggaran HAM berat hanya dijadikan bahan kampanye semasa mengejar kekuasaan dan jabatan.
"Tidak pernah ada keberanian ataupun keseriusan dari Presiden untuk benar-benar membuktikan keberpihakan kepada korban dan keluarga korban yang puluhan tahun telah menanti keadilan. Hak Asasi Manusia hanya menjadi komoditas yang dijual untuk kepentingan politik praktis, dan suara korban hanya dianggap angin lalu," ujar Suciwati dalam keterangan, Kamis (17/10/2024).
Selama 10 tahun terakhir pun banyak kasus pelanggaran HAM terjadi atas nama "pembangunan" yang justru merampas ruang hidup masyarakat, termasuk dalam berbagai Proyek Strategis Nasional seperti di Mandalika, Wadas, dan Rempang. Berbagai kasus penangkapan, kriminalisasi, bahkan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap aktivis, warga, hingga masyarakat adat yang membela lingkungan.
2. Pengkerdilan kebebasan berpendapat
Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi selama satu dekade. Jika membandingkan rata-sata skor nasional sejak 2019, data Setara Institute menunjukkan kepemimpinan Jokowi tidak pernah mencapai angka moderat, yakni 4 dengan skala 1-7.
Pada 2019 skor Indeks HAM sebesar 3,2, lalu 2020 di angka 2,9, pada 2021 di angka 3, pada 2022 di angka 3,3, dan pada 2023 kembali turun menjadi 3,2.
Pengkerdilan ruang-ruang sipil yang semakin masif terefleksi pada pemerintahan Presiden Jokowi. Kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi dan pelarangan atas kebebasan berkumpul masih terus terjadi. Contohnya, diskusi mahasiswa Papua atau diskusi-diskusi mengenai peristiwa 1965 atau kegiatan kegiatan yang dianggap mengganggu "nama baik" pemerintah.
Catatan KontraS, terjadi setidaknya menjelang 100 hari kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla, pada 22 Februari 2015, pembubaran secara paksa acara temu korban 65/66 Sumatra Barat dan terbaru pembubaran diskusi Silaturahmi Kebangsaan Diaspora Bersama Tokoh dan Aktivis Nasional yang digelar Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatan pada Sabtu, 28 September 2024.
3. Pembangunan yang dinilai menguntungkan pihak segelintir
Dalam catatan KontraS sejumlah masalah yang diadukan dan kemudian dicatat sebagai “Nawadosa” (sembilan dosa), meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi.
Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional masyarakat, seperti normalisasi terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta, eksplorasi nikel sejumlah daerah, termasuk di pulau kecil Pulau Wawonii, deforestasi Papua yang mengancam Masyarakat Adat Suku Awyu dan Moi, penggusuran Taman Sari dan Dago Elos, maupun berbagai proyek dan kebijakan lainnya yang justru merugikan masyarakat dan menguntungkan pihak segelintir.
4. Jokowi dianggap tak berdaya dan tegas timbulkan pelanggaran beragama
Ketidakberdayaan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam memahami dan menyelesaikan akar permasalahan sebuah kasus menjadi persoalan sendiri, yang mengakibatkan impunitas terhadap tindak diskriminatif kepada kelompok minoritas agama.
Berdasarkan catatan Kontras sejak 2014-2018, peristiwa pelanggaran Kebebasan Beribadah dan Berkeyakinan terjadi sejumlah 488 peristiwa.
Jumlah korban pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan mencapai 896 orang, yakni 408 korban individu, 488 korban dalam bentuk kelompok. Pelaku pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan, terdiri dari sipil, ormas, polisi, dan pemerintahan (MUI).
Ketidaktegasan presiden dan atau pemerintahan Jokowi atas berbagai kasus kasus yang menimpa kelompok minoritas, juga menunjukan ketakutan akan terganggunya elektabilitas Jokowi karena penggunaan politisasi agama.