80 Ribu Koperasi Merah Putih, Hati-hati Jadi Monster Baru Negeri Ini

- Presiden Prabowo ingin bangun 80 ribu KMP di Indonesia untuk swasembada pangan dan pemerataan ekonomi.
- Program ini masih banyak ketidakjelasan terutama terkait pembiayaan, kapasitas pelaksanaannya, dan kebijakan yang tidak inklusif.
- Kementerian Koperasi menghadapi kendala partisipasi masyarakat rendah, persepsi negatif, adaptasi teknologi, dan potensi fraud dalam pengelolaan koperasi.
Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto ingin membangun 80 ribu unit Koperasi Merah Putih (KMP) di seluruh penjuru Indonesia. Namun, pembentukan KMP saat ini masih jauh dari target menjelang diluncurkan pada 12 Juli 2025.
Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih telah diteken Prabowo pada tanggal 27 Maret 2025. Prabowo juga telah membentuk Satgas Koperasi Merah Putih, yang dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2025.
Melalui 80 ribu unit koperasi ini, Prabowo bercita-cita mendorong kemandirian bangsa dalam swasembada pangan berkelanjutan, dan pembangunan dari desa untuk mencapai pemerataan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai, program 80 ribu Koperasi Merah Putih sebagai langkah ambisius pemerintahan Presiden Prabowo. Dia mengatakan, program ini terdengar menarik di atas kertas. Namun proyek ambisius ini masih banyak menimbulkan tanda tanya besar.
Koperasi ini, lanjut Yusuf diklaim pemerintah akan menjadi motor penggerak ekonomi rakyat di tingkat lokal, terutama UMKM. Namun, dari berbagai elemen yang sejauh ini terungkap, ia justru melihat lebih banyak ketidakjelasan daripada kejelasannya.
Pertama, skema pembiayaan. Yusuf menjelaskan, pemerintah menyebut pendanaan koperasi ini akan bersumber dari pinjaman kredit bank-bank Himbara serta dukungan APBN. Namun, belum ada rincian jelas bagaimana risiko pembiayaan ini akan dikelola.
“Kalau seluruhnya berbasis pinjaman, bagaimana koperasi baru yang belum punya rekam jejak dan kapasitas manajerial bisa menjamin pengembalian? Apakah negara siap menanggung potensi kredit macet yang bisa muncul dalam skala besar?” kata dia saat dihubungi IDN Times, Rabu (28/5/2025).
Kedua, dari sisi kapasitas pelaksanaannya. Yusuf menekankan, membangun koperasi bukan sekadar membuka unit usaha dan menaruh modal, tapi soal membangun ekosistem yang sehat, dengan tata kelola yang transparan dan SDM yang mumpuni.
Ia pun mau mengingatkan pemerintah terkait fakta bahwa Indonesia sempat punya banyak koperasi yang “mati suri”. Fakta ini seharusnya jadi pelajaran penting.
“Kalau tidak disertai reformasi kelembagaan koperasi secara menyeluruh, inisiatif masif seperti ini hanya akan mengulang kegagalan masa lalu,” kata dia.
1. KMP jangan sampai jadi tengkulak

Direktur Kebijakan Publlik CELIOS, Media Wahyudi Askar berpandangan, program KMP sangat tidak inklusif karena bersifat top down, dan tidak berbasis kebutuhan masyarakat di tingkat lokal.
Kondisi ini menurutnya akan memunculkan kesenjangan kebijakan [policy gap]. Artinya, pengembangan sektor ekonomi yang diharapkan pemerintah tak relevan dengan kebutuhan yang terdapat di desa.
“Karena dibentuk pemerintah pusat, bahkan SOP dari pemerintah pusat sehingga implikasinya, perekonomian lokal belum tentu mengalami peningkatan,” kata dia.
Lebih jauh, Askar juga meragukan argumen pemerintah bahwa Koperasi Merah Putih dapat mengatasi tengkulak di kampung-kampung. Sebaliknya, dia justru khawatir KMP menjadi tengkulak baru yang lebih power full. Ia mengingatkan, tengkulak ada karena pemerintah gagal mengatasi rantai pasok yang begitu panjang.
“Kehadiran Kopdes Merah Putih memberikan ruang baru yang lebih power full secara pembiayaan, tetapi bisa jadi Kopdes Merah Putih ini yang akan menjadi tengkulak untuk menguasai sumber daya di desa. Jadi balik lagi bagaimana pelaksanaannya,” kata dia.
2. Jangan sampai menjadi bancakan pengurusnya

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI-P, Mufti Anam mendengar, modal Koperasi Merah Putih akan bersumber dari Bank Himbara sebesar Rp3 Miliar per desa.
Dalam hitung-hitungannya, dibutuhkan dana Rp240 Triliun untuk 80 ribu koperasi di seluruh penjuru nusantara. Jumlah ini, menurut Mufti bukan uang yang kecil, karena kalau bank pelat merah gagal, stabilitas keuangan nasional bisa terganggu.
"Tentu ini bukan uang yang kecil. Kalau gagal tentu NPL [non-performing loan] perbankan akan bisa terancam, tentu akan mengganggu stabilitas keuangan nasional,” kata dia.
Mufti lantas mewanti-wanti Kementerian Koperasi jangan sampai mega proyek ini gagal seperti yang telah terjadi di era orde lama. Dia mengingatkan, 80 ribu KMP ini bisa menjadi monster, yang bisa menggerogoti perekonomian nasional bila dikelola tanpa prinsip kehati-hatian.
Di sisi lain, ia juga tidak ingin keberadaan KMP hanya menjadi bancakan bagi para pengurusnya. Karena itu, ia menegaskan perlu ada jaminan dari Kementerian Koperasi agar proyek ini dikelola secara good governance.
“Risiko menjadi monster lama pak menteri. Kita belajar bagaimana dulu KUD [Koperasi Unit Desa] setelah itu ada namanya BUMDes. KUD dan BUMDes banyak kolaps,” kata dia.
3. KMP resmi diluncurkan pada Hari Koperasi Nasional

Menteri Koperasi Republik Indonesia, Budi Arie Setiadi mengungkapkan, Koperasi Merah Putih akan diluncurkan pada 12 Juli 2025 bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional ke-78. Ia berharap, Koperasi Merah Putih dapat terbentuk di seluruh Indonesia pada 30 Juni 2025.
"Dengan semakin mendekatinya batas waktu peluncuran pada 12 Juli 2025 saat hari koperasi nasional, kami berharap hingga 30 Juni sudah dapat terbentuk semuanya," kata Budi Ari dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025).
"Kami bersama akan terus mendorong percepatan pembentukan terutama di daerah atau provinsi yang masih di bawah 50 persen," ucap dia.
Budi menjelaskan, jumlah Koperasi Merah Putih yang terbentuk hingga Minggu (25/5/2025) telah mencapai 47,630 atau 57,02 persen. Data ini masih jauh dari target yang diinginkan Prabowo.
“Per 25 Mei 2025 jam 11.00 WIB desa yang telah melalukan musyawarah desa sebanyak 83.944 dan jumlah desa yang tersosialisasi mencapai 79.075 atau 94,19 persen. Sedangkan desa/kelurahan yang telah membentuk kopdes jumlah 47.630 atau 57,02 persen,” kata Ketua Umum Projo itu.
4. Kekhawatiran masyarakat terhadap KMP

Kementerian Koperasi mengidentifikasi sejumlah kendala yang dihadapi dalam pembentukan koperasi di Indonesia. Budi menjelaskan, partisipasi dan kesadaran masyarakat masih sangat rendah.
Persepsi negatif terhadap koperasi karena kasus koperasi bermasalah dan pinjol ilegal berkedok koperasi juga menjadi masalah tersendiri. Koperasi juga masih dianggap kurang adaptif terhadap kemajuan teknologi. Di sisi lain, skala ekonomi dan potensi desa yang berbeda-beda di Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Tantangan lainnya, lanjut Budi Arie adalah kemungkinan adanya elite capture dalam kepengurusannya hingga adanya kemungkinan fraud dalam pengelolaan yang tidak profesional.
Meski begitu, Budi meyakini, jika KMP dikelola dengan baik, keberadaannya dapat memunculkan tata sosial ekonomi berkeadilan bagi Indonesia.
"Saya yakin jika [koperasi merah putih] dikelola dengan baik akan memunculkan tata sosial ekonomi berkeadilan baik keadilan distributif, keadilan sosial yang lebih substantif dan keadilan ekonomi sesuai cita-cita negara ini didirikan," kata dia.
5. Dana desa bisa disunat untuk legalisasi KMP

Untuk mempercepat pembentukannya, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto telah mengizinkan, dana desa digunakan dalam proses legalisasi KMP.
Yandri mengatakan, pengelola dapat melampirkan akta notaris sebesar Rp2,5 juta untuk diusulkan ke Kementerian Hukum Republik Indonesia.
Yandri bahkan telah mengeluarkan surat edaran sebagai payung hukum penggunaan dana desa dalam proses legalisasi pendirian KMP. Langkah ini diambil sebagai solusi untuk menjangkau desa-desa terpencil yang kesulitan mengakses notaris.
“Kami dari Kementerian Desa PDT juga sudah membuat surat edaran, boleh diambil dana desa, dua juta setengah. Atau sumber lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan,” tutur Mantan Wakil Ketua MPR RI itu.
Yandri berharap penggunaan dana desa ini menjadi solusi terhadap hambatan administratif yang mengganggu proses pendirian koperasi berbasis potensi dan komunitas unggulan lokal di Indonesia.
“Tapi ingat, walaupun banyak sumber tadi, salah satunya saja yang diambil. Misalnya, ini akta notaris sudah mengambil bantuan dana desa (BDD), maka tidak boleh ambil dari sumber lain juga. Karena itu, ada pertanggungjawabannya,” kata dia.