Demokrat Anggap Aneh PDIP Lapor Peristiwa 27 Juli ke Komnas HAM

Partai Demokrat menganggap sikap itu "langkah kesiangan"

Jakarta, IDN Times - Sabtu kelabu, 22 tahun silam tepatnya pada 27 Juli 1996, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia diambil paksa oleh massa kubu Soerjadi yang mengklaim juga berhak atas gedung itu. Setelah 22 tahun berlalu, Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristianto tiba-tiba melaporkan peristiwa tersebut ke Komnas HAM. Selain membuat laporan, Hasto juga meminta agar Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mau bicara terbuka mengenai peristiwa tersebut.

Tetapi, sikap PDI Perjuangan itu ditanggapi dingin oleh Partai Demokrat. Mereka menganggap laporan yang dibuat partai berlambang hidung moncong putih itu sebagai laporan kesiangan.

"Laporan ini adalah upaya politik yang sudah kesiangan," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachland Nashidik melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times pada Jumat (27/7).

Lalu, mengapa Partai Demokrat menyebut langkah PDI Perjuangan itu sebagai langkah yang kesiangan?

1. Megawati sengaja memanfaatkan kasus 27 Juli 1996 untuk kepentingan politik

Demokrat Anggap Aneh PDIP Lapor Peristiwa 27 Juli ke Komnas HAMSelasar.com

Menurut Rachland upaya pelaporan yang dilakukan oleh Sekjen Hasto Kristianto, merupakan agenda ritual politik PDI Perjuangan. Terutama sejak SBY berhasil memenangkan pemilu tahun 2004 lalu mengalahkan sang ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Rachland mempertanyakan mengapa setelah 22 tahun, PDI Perjuangan baru meminta agar Komnas HAM mencari pelanggaran HAM dari kasus tersebut.

"Karena pasti akan banyak kesulitan untuk mengungkap kasusnya. Sebab, sudah banyak sumber informasi yang sudah tidak lagi ada, misal Pak Harto (Presiden ke-2). Belum lagi soal alat bukti," kata Rachland melalui keterangan tertulis hari ini.

Ia menjelaskan kalau memang PDI Perjuangan serius untuk mengusut kasus tersebut, seharusnya mereka bisa memanfaatkan momentum di tahun 2001 lalu. Saat itu, Megawati masih menjadi Presiden.

"Ia bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti yang kuat didesak oleh masyarakat. Sayang, Mega malah memilih diam. Bahkan, malah mengangkat Pak Sutiyoso mantan Pangdam Jaya sebagai Gubernur DKI," kata dia lagi.

Baca juga: Minta Kasus Kudatuli Dibuka Lagi, Hasto: SBY Dapat Berikan Informasi

2. Megawati dianggap menghalangi agar kasus penyerangan tidak terungkap

Demokrat Anggap Aneh PDIP Lapor Peristiwa 27 Juli ke Komnas HAMANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Menurut Rachland, pada 2004 silam, Megawati dianggap telah menghalangi Tim Koneksitas Polri yang akan melakukan penyelidikan atas kasus 27 Juli 1996 tersebut. Alasannya ketika itu pemilu sudah dekat. Sementara, nama SBY juga tidak ada di dalam daftar orang yang disangka oleh Tim Koneksitas Polri tersebut.

"Kesempatan kedua datang saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sudah dimulai sejak Pak Habibie masih Presiden. Inisiatif masyarakat sipil mengikuti pengalaman Afrika Selatan ini menghadapi resistensi. Fraksi PDIP sejak Mega Presiden bukan saja tidak pernah mendukung, tapi paling keras menolak," kata dia.

3. Megawati dituding tidak berani mengungkap kasus penyerangan kantor PDI

Demokrat Anggap Aneh PDIP Lapor Peristiwa 27 Juli ke Komnas HAMANTARA FOTO

Rachland juga menuding sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Mega malah gak langsung mengungkap kasus penyerangan kantor PDI. Ia, kata Rachland, dianggap telah menghalangi proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polri.

Padahal jika komisi bisa segera dibentuk, Megawati bisa mengungkap alat kuat pada peristiwa 27 Juli 1996 yang lalu.

"Begitulah saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Mega memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya. Mungkin juga karena dia menguatirkan political backlash." katanya lagi.

Baca juga: Kronologi Pertikaian Politik Yang Memicu Huru-Hara 27 Juli 1996

Topik:

Berita Terkini Lainnya