DPR Setuju Ketua Dewan Aglomerasi Jabodetabek Ditunjuk Presiden RI

Presiden RI bebas menunjuk, apakah wapres atau menteri

Jakarta, IDN Times - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui bahwa Ketua dan Anggota Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabek bakal ditunjuk oleh Presiden RI. 

Dengan demikian, kesepakatan ini membatalkan isi draf sebelumnya yang menyebutkan bahwa Kawasan Aglomerasi akan dipimpin oleh Wakil Presiden RI.

"Ketua dan anggota dewan kawasan ditunjuk oleh Presiden RI. Jadi setuju dengan rumusan baru ya?" kata Ketua Baleg RI, Supratman Andi Agtas saat memimpin rapat pembasahan RUU DKJ, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/3/2024).

"Setuju!" seru Anggota Baleg yang hadir.

Baca Juga: Pimpin Aglomerasi DKJ, Wapres Diminta Tak Intervensi Daerah Otonom

1. Aturan penunjukan bakal diatur di dalam perpres

DPR Setuju Ketua Dewan Aglomerasi Jabodetabek Ditunjuk Presiden RIilustrasi lalu lintas di kawasan Gatot Subroto, Jakarta (IDN Times/Amir Faisol)

Peraturan penunjukan Ketua dan Anggota Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabek tersebut nantinya akan diatur secara khusus dalam peraturan presiden (perpres). 

Kemudian, Presiden RI memiliki hak untuk menunjuk siapa yang akan ditugaskan dalam Dewan Aglomerasi Jabodetabek.

"Kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan itu diatur dalam perpres diatur dalam peraturan presiden lewat Presiden," imbuhnya. 

Anggota Baleg DPR RI dari F-PKS, Mardani Ali Sera sepakat dengan aturan tersebut mengingat Indonesia merupakan negara dengan sistem presidensial. Ia juga menyampaikan bahwa posisi jabatan tersebut cukup sensitif. 

"Saya setuju dengan draf yang dibuat pimpinan karena kita sistemnya adalah presidensial. Bedanya Papua tidak sensitif, kalau Jabodetabek itu super (sensitif)," kata dia.

Baca Juga: Wapres Bakal Pimpin Kawasan Aglomerasi, DPD Khawatirkan Dualisme 

2. Senator sempat kritik penunjukan wapres

DPR Setuju Ketua Dewan Aglomerasi Jabodetabek Ditunjuk Presiden RIGedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)

Rapat Baleg DPR RI yang digelar hari ini menyepakati, salah satunya membahas mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi di Jabodetabek setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara. 

Jakarta akan masuk dalam kawasan aglomerasi bersama Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Posisi Ketua Dewan Aglomerasi tersebut sempat menuai sorotan karena dalam draf sebelumnya menyebutkan bahwa akan dipimpin oleh Wapres RI. Ketua Komite III DPD RI, Sylvia Murni khawatir dapat memunculkan dualisme kekuasaan.

"Atribusi kewenangan secara langsung kepada Wapres sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi dalam RUU ini harus dipertimbangkan sedemikian rupa agar tidak terjadi dualisme kekuasaan," kata dia.

Menurut senator asal DKI Jakarta itu, penugasan Wakil Presiden harus berdasarkan kewenangan mandat dari Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi. Oleh karena itu, ia berharap Baleg DPR RI dan pemerintah bisa mempertimbangkan mandat Wapres mengurusi kawasan aglomerasi.

"Saya yakin ini sudah diperhitungkan dengan matang sebagai penanggung  jawab tertinggi. Saya yakin ini sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan baik oleh Baleg DPR RI dan juga Kemendagri," kata dia.

Baca Juga: Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani Wapres

3. Pemerintah bantah kawasan aglomerasi disiapkan untuk Gibran

DPR Setuju Ketua Dewan Aglomerasi Jabodetabek Ditunjuk Presiden RIMenteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) memberi salam komando kepada Hadi Tjahjanto usai upacara sertijab di Kemenko Polhukam pada Rabu (21/2/2024). (IDN Times/Santi Dewi)

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian meluruskan rumor tentang Dewan Kawasan Aglomerasi disiapkan untuk Gibran. Menurut Tito, nama aglomerasi itu diputuskan melalui grup diskusi (FGD). Tujuannya, agar ada harmonisasi dan sinkronisasi program.

Konsep ini juga telah dibahas sejumlah pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia, dan UGM.

Pemerintah, kata dia, bahkan turut menggandeng pakar hukum tata negara untuk memberikan masukan terkait perancangan RUU DKJ. 

Tito menjelaskan, hal itu sudah dibahas sejak April 2022 sehingga bila merujuk ke masa itu, belum dibentuk koalisi parpol menjelang Pemilu 2024.

"Apalagi paslonnya. Kita belum tahu ketika diadakan FGD itu. Di situ lah muncul harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi," ujar Tito.

Menurut dia, sebelum menjatuhkan pilihan penyebutan aglomerasi, sempat juga muncul ide lain seperti metropolitan atau megapolitan. 

"Banyak yang menjadi permasalahan bersama, mulai dari lalu lintas, banjir, migrasi penduduk. Bahkan, merembet juga ke masalah kesehatan seperti COVID-19 dan lain-lain," kata dia.

"Makanya, perlu harmonisasi dan evaluasi program. Saat itu ada beberapa istilah yang muncul. Apakah membentuk kawasan Metropolitan Jakarta, Jadebotabekjur, atau namanya Megapolitan atau namanya Aglomerasi," imbuhnya.

Mantan Kapolri itu menjelaskan, jika menggunakan istilah megapolitan ataumetropolitan, seolah-olah kota satelit atau penyangga itu akan dijadikan satu pemerintahan dengan Jakarta.

"Konsep ini banyak ditentang karena akan mengubah banyak undang-undang. Mulai dari UU Jawa Barat, UU Banten, UU Kota Depok, UU tentang Kota Bekasi," katanya.

"Akhirnya disepakati saat itu disebut saja wilayah itu aglomerasi yang berarti tidak ada keterikatan administrasi pemerintahan. Tapi, ini kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi problem bersama," imbuhnya. 

Baca Juga: Pemerintah akan Bentuk Dewan Aglomerasi Usai RUU DKJ Disahkan

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya