TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polemik Halal-Haram Vaksin AstraZeneca, Epidemiolog Buka Suara

Ada pula 5 kaidah penentu kehalalan vaksin

Ilustrasi vaksinasi COVID-19 di Palembang (ANTARA Foto)

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Atoillah Isfandi, memberikan pandangan kehalalan vaksin COVID-19 AstraZeneca. Menurutnya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan dari penetapan haram sebuah vaksin.

“Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah, dan tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudaratnya jauh lebih besar," katanya melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Minggu (21/3/2021).

Menurutnya hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, melainkan juga pada proses maupun manfaatnya.

Baca Juga: Cek Fakta: Vaksin AstraZeneca Mengandung Babi? Ini 5 Faktanya!

1. Ada lima kaidah yang menjadi pertimbangan halal atau haramnya vaksin

Ilustrasi Vaksin. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Ia juga menjelaskan lima kaidah yang menjadi pertimbangan halal atau haramnya sebuah vaksin. Kaidah-kaidah itu ia sarikan dari berbagai dalil Alquran dan hadis.

"Jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase pertama, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai, maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai benda yang suci,” kata Atoilah.

2. Niat pembuatan vaksin menjadi sesuatu hal yang penting

Petugas Kesehatan menunjukkan vaksin COVID-19 Sinovac saat vaksinasi tahap pertama di Rumah Sakit Kesrem, Lhokseumawe, Aceh. Rabu (10/2/2021) (ANTARA FOTO/Rahmad)

Kemudian yang kedua adalah kaidah niat. Artinya, sebagus apapun benda dan proses
pembuatannya, namun jika tujuannya buruk maka hal itu haram. Lalu yang ketiga adalah kaidah masyaqqat.

“Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujarnya.

3. Saat kondisi darurat, hukum haram bisa gugur

Ilustrasi vaksinasi COVID-19. ANTARA FOTO/Jojon

Lalu hal keempat yaitu kaidah adh dhararu atau kedaruratan. Jadi dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram bisa gugur.

“Jadi meski ada unsur babinya, namun karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal. Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat," katanya.

Kelima adalah kaidah al urf yang terkait dengan kearifan lokal. Walaupun demikian, menurutnya kaidah tersebut kurang cocok dalam hal vaksin.

Baca Juga: Hipmi: Vaksin COVID-19 dan 'Vaksin' Ekonomi Harus Sejalan dan Selaras

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya