TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kekerasan terhadap Perempuan di Dunia Digital Terus Meningkat

38 persen perempuan di dunia pernah alami kejahatan digital

Ilustrasi perempuan (dok. United Nations)

Jakarta, IDN Times - Seiring dengan perkembangannya teknologi, kejahatan di dunia digital juga semakin marak terjadi, termasuk kekerasan atau kejahatan online berbasis gender yang terjadi pada perempuan

Dilansir United Nations Women atau PBB untuk Perempuan, kekerasan online terhadap perempuan bukan hal baru, namun jumlahnya meningkat secara pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menimbulkan ancaman signifikan terhadap keselamatan dan kesejahteraan perempuan baik di online maupun offline. 

Dengan memperingati Hari Perempuan Sedunia pada hari ini, Jumat (8/3/2024), alangkah baiknya untuk mempelajari lebih dalam apa itu sebenarnya kejahatan digital terhadap perempuan, dan seberapa buruk dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka. 

PBB untuk Perempuan, sebagai entitas PBB yang berdedikasi untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, memaparkan berbagai informasi serta cara untuk mengatasi isu ini.

Berikut IDN Times sajikan rangkumannya. Yuk, disimak baik-baik!

Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan Internasional yang Diperingati Setiap 8 Maret

1. Apa itu kejahatan digital berbasis gender?

Ilustrasi female empowerment (Pixabay/viarami)

Menurut PBB untuk Perempuan, kekerasan atau kejahatan terhadap perempuan yang difasilitasi teknologi digital adalah segala tindakan menggunakan alat atau teknologi yang menyebabkan beberapa kerugian terhadap perempuan karena gender mereka. Jenis kejahatan ini dapat berdampak kepada fisik, seksual, psikologis, sosial, politik, atau ekonomi mereka. 

Perlu diketahui juga bahwa tindakan seperti ini merupakan bagian dari pola kekerasan terhadap perempuan yang lebih besar di lingkup online maupun offline, seperti penyalahgunaan gambar intim, doxing (mengungkap informasi pribadi), trolling (pelecehan online), dan berbagi gambar deepfake. Hal-hal ini juga mencakup ujaran kebencian misoginis serta upaya untuk membungkam dan mendiskreditkan perempuan secara digital.

Oleh karena itu, PBB untuk Perempuan menekankan bahwa penanganan isu ini sangatlah penting. Sebab, tindakan-tindakan tersebut bisa sebahaya kekerasan yang dilakukan di luar dunia digital, dan akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan, ekonomi, sosial, dan politik perempuan. 

PBB untuk Perempuan juga menjelaskan bahwa kekerasan digital dapat membatasi partisipasi perempuan di dunia maya, sehingga meningkatkan kesenjangan gender di ruang digital dan membatasi ruang suara perempuan. Hal ini merupakan kekhawatiran yang signifikan, mengingat mayoritas dari sekitar 2,9 miliar orang yang masih belum terhubung ke internet adalah perempuan.

Baca Juga: Kisah Maria Natalia, Perempuan Buruh Berjuang Melawan Rezim Orde Baru

2. Sekitar 38 persen dari perempuan di dunia alami kekerasan atau kejahatan dunia digital

Ilustrasi media sosial (Pexels/Tracy Le Blanc)

Berdasarkan Institute of Development Studies, sekitar 16 hingga 58 persen dari perempuan telah mengalami kejahatan digital berbasis gender. 

Economist Intelligence Unit juga menemukan bahwa 38 persen dari perempuan memiliki pengalaman pribadi terkait kejahatan digital, dan 85 persen dari perempuan yang menghabiskan waktu di dunia maya pernah menyaksikan terjadinya kejahatan digital terhadap perempuan lain. 

PBB untuk Perempuan menjelaskan, bentuk kejahatan yang paling umum dilaporkan adalah misinformasi dan pencemaran nama baik (67 persen), pelecehan dunia maya (66 persen), ujaran kebencian (65 persen), peniruan identitas (63 persen), peretasan dan penguntitan (63 persen).

Selain itu, astroturfing (upaya terkoordinasi untuk secara bersamaan membagikan konten yang merusak ke seluruh platform, 58 persen), pelecehan berbasis video dan gambar (57 persen), doxing (55 persen), ancaman kekerasan (52 persen), dan gambar yang tidak diinginkan atau seksual eksplisit konten (43 persen).

3. Pandemik COVID-19 meningkatkan kejahatan digital terhadap perempuan

Hari Perempuan Internasional (commons.wikimedia.org)

PBB untuk Perempuan menjelaskan bahwa pandemik COVID-19 meningkatkan jumlah kekerasan digital terhadap perempuan, sebab banyak dari mereka beralih ke dunia online untuk bekerja, sekolah, dan melakukan aktivis sosial. 

Di Australia, tercatat kenaikan sebesar 210 persen pada jumlah pelecehan berbasi gambar terkait dengan pandemik. Selain itu, ada pula data dari India, Sri Lanka, dan Malaysia yang menunjukan kenaikan 168 persen  pada jumlah postingan daring yang berunsur misoginis saat masa lockdown

Sebelum pandemik, 38 persen dari perempuan yang telah disurvei oleh Glitch UK telah mengalami kekerasan atau kejahatan online, dengan 27 persen peningkatan yang dialami saat COVID-19 melanda. Sedangkan untuk perempuan minoritas, data rata-rata yang dilaporkan lebih tinggi, sebesar 50 persen sebelum pandemi dan mengalami kenaikan sebesar 38 persen setelah pandemik. 

4. Berbagai kelompok perempuan miliki risiko tinggi alami kejahatan digital

Ilustrasi kekerasan pada perempuan (unsplash.com/Sydney Sims)

Tentunya, komunitas yang paling terdampak oleh kejahatan digital berbasis gender adalah perempuan, namun ada pula kelompok terkhusus yang memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Mereka adalah perempuan penyandang disabilitas, perempuan migran, dan kelompok LGBTIQ+. 

Perempuan muda yang lebih sering menggunakan teknologi untuk proses pembelajaran dan kehidupan sosial mereka juga menghadapi tingkat risiko lebih tinggi terhadap kekerasan online.

Satu penelitian global dari Plan International telah menemukan 58 persen dari perempuan dan perempuan muda pernah mengalami beberapa bentuk pelecehan online.

Selain itu, perempuan pembela hak asasi manusia, aktivis, jurnalis dan anggota parlemen juga menghadapi peningkatan tingkat kekerasan. UNESCO menemukan 73 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan online saat bekerja.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya