TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dewas KPK: Firli Bahuri Tidak Langgar Etik Terkait Kasus OTT UNJ

ICW nilai Dewas abai dalam menegakkan kode etik internal KPK

Ketua KPK, Firli Bahuri (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Jakarta, IDN Times - Dewas Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto, tidak melanggar kode etik dalam penanganan perkara OTT Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Sebelumnya, Dewas sudah mengirimkan surat terkait hal tersebut kepada Indonesia Corruption Watch (ICW).

"Ya benar. Alasannya (tidak melanggar etik) sudah ada dalam surat Dewas ke ICW," kata Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris kepada IDN Times, Senin (16/11/2020).

Baca Juga: Diduga Langgar Kode Etik, ICW Laporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewas

1. Ini alasan Dewas menyatakan Firli dan Karyoto tak melanggar etik

Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris bersiap mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

Dewas telah mengirimkan surat kepada ICW sejak Senin 9 November 2020. Dalam surat tersebut, Dewas mendasari kesimpulannya pada empat hal. Pertama, penanganan kasus yang dilakukan KPK atas perintah Firli Bahuri dinilai akibat laporan yang kurang lengkap dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat, Aprizal.

"Yang menyebutkan telah membantu OTT di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," kata Syamsuddin.

Kedua, penerbitan surat perintah penyelidikan telah dikoordinasikan antar kedeputian, serta sesuai dengan prosedur yang berlaku di KPK. Ketiga, keputusan untuk menangani kasus itu telah dikoordinasikan dengan pimpinan KPK lainnya.

"Melalui media komunikasi online. Sehingga, keputusan tersebut bukan inisiatif pribadi dari Firli Bahuri," ucapnya.

Terakhir, kasus itu belum ditemukan bukti permulaan yang cukup dan belum memenuhi ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka KPK wajib menyerahkan penyelidikan ke penegak hukum lain. Mekanisme pelimpahan dalam keadaan tertentu dimungkinkan tidak melalui gelar perkara berdasarkan kebijakan pimpinan KPK," katanya.

2. ICW sebut argumentasi Dewas KPK melenceng

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana sebelumnya menilai, argumentasi Dewas melenceng dari substansi putusan yang sebelumnya dijatuhkan terhadap Plt Direktur Pengaduan Masyarakat, Aprizal. Pada halaman 6 putusan Dewas, tertera jelas percakapan antara Aprizal dengan Firli Bahuri.

Dalam percakapan tersebut, kata Kurnia, terlihat adanya pemaksaan dari Firli Bahuri untuk menangani perkara yang sedari awal dilakukan oleh Inspektorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kememdikbud).

"Padahal, saat itu Afz (Aprizal) sudah menyebutkan bahwa perkara itu tidak melibatkan penyelenggara negara. Namun, Firli mengabaikan informasi tersebut. Dalam konteks ini, sebenarnya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sudah terang benderang dilakukan oleh Firli Bahuri," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 14 November 2020.

Kurnia melanjutkan, keputusan KPK untuk menangani perkara itu dilakukan dengan media komunikasi online. Menurut Kurnia, hal itu tidak lazim. Semestinya, ada forum gelar perkara yang mempertemukan pimpinan dengan jajaran kedeputian penindakan, hingga tim pengaduan masyarakat.

Selain itu, merujuk pada forum rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh KPK dengan Komisi III DPR RI pada 12 September 2017, mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat menjelaskan alur dari penanganan perkara yang ada pada lembaga antirasuah.

"Dalam paparannya, Saut menyebutkan bahwa sebelum perkara naik pada tahap penyelidikan, maka pimpinan KPK terlebih dahulu melakukan gelar perkara bersama dengan tim pengaduan masyarakat. Untuk itu, koordinasi melalui media komunikasi tentu tidak dapat dibenarkan," ujar Kurnia.

3. Ada kejanggalan dalam pertimbangan Dewas KPK

Jajaran Dewan Pegawas KPK menyampaikan konferensi pers di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020) (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Kurnia mengatakan, ada dua hal yang janggal dalam pertimbangan Dewas terkait dengan mekanisme pelimpahan perkara. Pertama, Dewas tidak merincikan situasi apa yang membuat adanya pengecualian prosedur pelimpahan perkara.

"Sebab, dalam proses pelimpahan perkara OTT UNJ, menurut pandangan ICW tidak ada situasi khusus yang dapat membenarkan tindakan KPK kecuali dengan melakukan gelar perkara," ucap Kurnia.

Kedua, Dewas tidak menjelaskan perihal 'berdasarkan kebijakan Pimpinan KPK'. Kurnia pun mempertanyakan apa yang dimaksud dengan kebijakan Pimpinan KPK.

"Pimpinan KPK yang dimaksud oleh Dewan Pengawas merujuk kepada lima orang atau hanya beberapa orang saja? Jika hanya disepakati satu atau beberapa orang saja, maka hal itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial," katanya.

Baca Juga: Dewas KPK Proses Laporan ICW pada Firli Bahuri Terkait Kasus OTT UNJ

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya