TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polisi: Komnas HAM Bikin Narasi Negatif Terhadap Aparat soal Pubabu

Permasalahan sudah terjadi sejak 1982

Sejumlah aparat Brimob sedang berada di Pubabu, Besipae, TTS. (Dok. ANTARA News)

Jakarta, IDN Times - Pada Selasa 18 Agustus 2020, akun Twitter @Soliper_SP milik Solidaritas Perempuan menjelaskan, ada sejumlah tembakan terdengar di Desa Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini mereka ketahui melalui panggilan telepon dari sejumlah warga di sana.

Menurut keterangan akun tersebut, pasukan Brimob mendatangi lokasi masyarakat adat Pubabu dan meminta mereka keluar dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, warga bertahan. Bahkan, Brimob diduga mengancam dan melakukan tindakan represif, serta melepaskan tembakan sebanyak tiga kali untuk mengusir warga. Benarkah demikian? Apa tanggapan polisi atas hal ini?

Baca Juga: Komnas HAM Kecam Tindakan Represif yang Dialami Masyarakat Adat Pubabu

1. Komnas HAM hingga Walhi dinilai membuat narasi negatif terhadap aparat

Ilustrasi kantor Komnas HAM (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Kapolres Timor Tengah Selatan AKBP Ariasandy mengatakan, beberapa warga sudah mau direlokasi. Namun, masih ada yang tetap bertahan di lokasi. Ariasandy menilai, warga yang masih bertahan ditunggangi beberapa pihak yang sudah berafiliasi dengan Komnas HAM, Komnas Perlindungan Perempuan, dan WALHI.

"Mereka-mereka ini yang kemudian membuat narasi seolah-olah ada injustice dan segala macamnya," ujarnya kepada IDN Times, Rabu (19/8/2020).

Masih kata Ariasandy, ketika aparat Kepolisian menertibkan warga, semua instansi hingga DPR ikut menyaksikan. Dia mengatakan, Pemprov NTT juga sudah solutif karena akan membangunkan rumah dan menyertakan warga dalam program dari Dinas Peternakan Pemprov NTT.

"Belakangan ini yang saya dapat, justru ada resistensi dari penduduk-penduduk asli dari sana. Mereka bilang 'kenapa kok mereka ini diistimewakan? Padahal mereka pendatang'. Nah itu," ucapnya.

2. Brimob hanya melepaskan tembakan gas air mata ke arah tanah

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Ariasandy mengatakan, peristiwa itu terjadi pada Selasa kemarin. Namun, tembakan itu bukanlah tembakan peringatan. Brimob juga hanya melepaskan tembakan gas air mata.

"Nah, gas air mata itu ke arah tanah, bukan ke arah orang-orang yang lagi berkumpul di situ," kata Ariasandy.

Ariasandy menjelaskan, Brimob berupaya merelokasi masyarakat dari lokasi itu. Hal ini karena mereka dinilai menempati lahan milik Pemerintah Provinsi NTT. Agar mau direlokasi, masyarakat sudah disiapkan rumah dan tanah 800 meter, serta mendapat sertifikat dari Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Namun, mereka tak mau beranjak dari lokasi itu.

Ariasandy mengatakan, mayoritas warga yang tinggal di sana adalah perempuan dan anak-anak. Aparat Kepolisian dan perangkat desa di lokasi bahkan membujuk mereka sampai 5 hari. Namun, warga tetap tidak mau direlokasi.

"Untuk merelokasi mereka kan riskan karena perempuan sama anak-anak. Tidak mungkin anggota mengangkat-angkat saja begitu. Nah, inisiatif dari salah satu anggota Brimob membunyikan peluru gas air mata ke arah tanah di depan anggota Brimob itu sendiri, tidak mengarah ke si orang-orang ini," jelasnya.

3. Permasalahan sudah terjadi sejak 1982

Ilustrasi adat (IDN Times/Wildan Ibnu)

Ariasandy mengaku tidak berada di lokasi saat peristiwa itu terjadi. Dia mendapatkan informasi itu dari Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zeth Sony Libing. Sony, kata Ariasandy, saat itu ada di lokasi.

"(Tembakan gas air mata) Biar dapat reaksi. Karena selama ini mereka dibujuk-bujuk gak mau, dan tidak ada tembakan ke arah orang-orang itu," tegasnya.

Ariasandy menjelaskan, tanah itu awalnya dikuasai oleh Raja atau Usif. Pada 1982, Usif menyerahkan tanah itu kepada pemerintah yakni Dinas Peternakan Pemprov NTT. Saat itu juga, Pemprov NTT bekerja sama dengan pihak peternakan dari Australia.

"Jadi intinya, tanah itu seluas 3.780 hektare, dari Usif ini sudah menyerahkan ke Pemprov. Lalu, sama Pemprov disertifikatkan ini tanah. Jadi tanah hak pakai," jelasnya.

4. Masyarakat yang protes disebut merupakan masyarakat pendatang

Sejumlah aparat Brimob sedang berada di Pubabu, Besipae, TTS. (Dok. ANTARA News)

Setelah lima tahun kerja sama dengan Australia dan akan diperpanjang, ada penolakan dari masyarakat. Masyarakat berpikir, setelah Australia tidak kerja sama dengan Pemprov NTT, tanah itu kembali ke mereka.

Sekitar tahun 1986 setelah perjanjian itu selesai, ada sekelompok orang yang sampai saat ini melakukan protes. Mereka terdiri dari 37 Kepala Keluarga (KK).

"Mereka itu notabene bukan masyarakat sana, tapi dari luar, pendatang masuk ke sana. Kenapa dia masuk ke sana? Karena diminta sama ada salah satu tokoh supaya memperjuangkan tanah ini," ucapnya.

Ariasandy melanjutkan, mayoritas tokoh-tokoh adat dan penduduk asli di sana sudah memahami, jika tanah diserahkan pada Pemprov NTT.

"Dan ini kasus sudah 12 tahun berlarut-larut. Gubernur sekarang ini rupanya beliau buat terobosan, terobosannya itu mau dimanfaatkan betul untuk Dinas Peternakan," katanya.

"Jadi kalau dibilang ada intimidasi kekerasan petugas ikut bongkar, itu tidak betul. Orang (anggota) saya di lapangan. Jadi yang melaksanakan penertiban ya petugas dari Satpol PP, kami (Polri) sama TNI mengamankan kegiatan itu jangan sampai ada yang terluka atau terjadi kekerasan," sambungnya.

Baca Juga: Pakai Baju Adat NTT, Jokowi: Harus Bangga Terhadap Produk Indonesia

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya