TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polri Beli Alat Rp408 M, Diduga untuk Halau Massa Tolak Omnibus Law

Polri dinilai berupaya membungkam kritik dan aksi publik

Ilustrasi - Mahasiswa dari sejumlah universitas mulai berdatangan di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat untuk berunjuk rasa pada Kamis (8/10/2020) (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, Polri tercatat melakukan pengadaan perangkat sejak September 2020, untuk mendukung aktivitas digital.

Temuan itu berdasarkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri, di mana sejumlah pengadaan barang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP).

"Dan tercatat sebagai kebutuhan atau anggaran mendesak, yang diduga berkaitan dengan antisipasi aksi massa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law," kata Wana dalam keterangan tertulisnya yang diterima IDN Times, Jumat (9/10/2020).

Baca Juga: KontraS Data Orang Hilang dan Ditahan Saat Demo

1. Alat sudah dibuat sejak September 2020

Ilustrasi Gedung Mabes Polri (polri.go.id)

Berdasarkan temuan ICW, ada lima paket pengadaan alat yang dilakukan Polri. Pertama, pengadaan alat tambahan berupa sentralized command control system for intelligence target surveillance, yang dibuat pada 16 September 2020. Alat itu untuk satuan kerja Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri, dengan nilai paket pengadaan sebesar Rp179,4 miliar.

Kedua, pengadaan helm dan rompi anti-peluru Brimob, yang dibuat pada 21 September 2020. Anggarannya dikategorikan mendesak-APBNP untuk satuan kerja Baintelkam Polri. Nilai paket pengadaan alat itu sebesar Rp90,1 miliar.

Ketiga, peralatan tactical mass control device, dengan kategori kebutuhan mendesak-APBNP. Alat ini dibuat pada 28 September 2020 untuk satuan kerja Staf Logistik (Slog) Polri, senilai Rp66,5 miliar.

Keempat, peralatan counter UAV and surveillance, yang dibuat pada 25 September 2020. Anggarannya dikategorikan mendesak-APBNP. Alat itu untuk satuan kerja Korps Brigade Mobil (Korbrimob) Polri, dengan nilai paket pengadaan sebesar Rp69,9 miliar.

Terakhir, pengadaan drone observasi tactical, yang dibuat pada 25 September 2020. Anggarannya dikategorikan mendesak-APBNP, untuk satuan Korbrimob Polri. Nilai paket pengadaan alat itu sebesar Rp2,9 miliar.

"Total pengadaan kelima paket tersebut adalah Rp408,8 miliar, dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar satu bulan lamanya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dan menguatkan dugaan bahwa Polri terlibat dalam upaya sistematis untuk membungkam kritik dan aksi publik," ucap Wana.

2. Alat ditengarai untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital

Ilustrasi media sosial (Sukma Shakti/IDN Times)

Wana mengatakan, aktivitas pembelanjaan ditengarai digunakan untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital. Alat yang telah dibeli, juga tidak menutup kemungkinan untuk menjalankan perintah Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, sesuai dengan surat telegram rahasia (STR) yang diterbitkan beberapa waktu lalu.

"Kondisi yang serupa juga pernah terjadi pada saat penolakan terhadap revisi UU KPK dan aksi #ReformasiDikorupsi September 2019 lalu. Polanya yaitu mendistorsi suara dari publik yang
kontra terhadap pemerintah. Selain itu adanya penggiringan opini publik terhadap para pihak yang melakukan unjuk rasa," ucap dia.

Wana mencontohkan, ada dua kejadian pada September 2019. Pertama, akun resmi milik kepolisian yaitu @TMCPoldaMetro, disinyalir menyebarkan disinformasi mengenai ambulans milik Provinsi DKI Jakarta yang diduga membawa batu saat demonstrasi di gedung DPR. Tidak lama berselang, informasi tersebut hilang.

"Kedua, adanya grup WhatsApp dengan mengatasnamakan siswa Sekolah Teknis Mesin (STM) yang diduga dibuat oleh kepolisian. Tujuannya yakni untuk melakukan kontra narasi terhadap
para aktor yang mengikuti unjuk rasa," kata dia.

Baca Juga: Amnesty: Lebih dari 150 Demonstran Penolak UU Cipta Kerja Ditangkap

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya