TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Wacana Revisi UU ITE, PDIP: Yang Disebut Pasal Karet yang Mana?

"Kalau alasannya ada pasal karet, tolong dibuktikan"

Anggota Komisi I DPR Effendi Muara Sakti Simbolon dalam rapat Komisi I DPR RI dengan Dewan Direksi LPP TVRI, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (27/1/2020). Foto : Naifuroji/Man (Website dpr.go.id)

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko 'Jokowi' Widodo sebelumnya meminta polisi lebih selektif dalam menerima laporan terkait pelanggaran UU ITE. Jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, dia akan meminta DPR merevisi UU tersebut dan menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir.

Menanggapi hal ini, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Muara Sakti Simbolon, mempertanyakan di mana letak pasal karet tersebut.

“Saya mendengar kutipan dari presiden 'kalau'. Kalaupun 'kalau' dan dianggap menjadi masalahnya dan menyebut pasal karet, saya bertanya yang disebut pasal karet yang mana?" kata Effendi dalam acara Mata Najwa bertajuk Kritik Tanpa Intrik yang disiarkan Trans7, Rabu (17/2/2021).

Baca Juga: Wacana Revisi UU ITE, Komnas HAM Dorong Jokowi Bentuk Tim Komunikasi

1. Effendi klaim tak ada yang jadi korban UU ITE

IDN Times/Arief Rahmat

Effendi menjelaskan, pasal di dalam UU ITE sendiri pernah dua kali melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang dimaksud dalam UU ITE itu adalah Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2. Hasilnya, kata dia, dua pasal itu teruji dan tak melanggar UU.

Bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan Pasal 28 ayat 2 berbunyi, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Apanya yang mau direvisi itu? Kan kelembagaan. Boleh saja direvisi, tapi pertanyaan kalau alasannya ada pasal karet tolong dibuktikan. Saya gak melihat adanya korban dari pasal itu," kata dia.

“Masih banyak itu manfaatnya UU. Selama kita tidak sengaja melakukan penghinaan di dunia maya, tidak akan ada masalah pada anda. Seluruh dunia punya UU ITE," katanya lagi.

2. UU ITE dianggap mengganggu demokrasi Indonesia

(Pakar hukum tata negara Refly Harun) ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, suasana takut mengkritik dan dilaporkan ke polisi memang terasa. Bahkan, ketika mengkritik penguasa, ia juga pernah dilaporkan.

“Kalau tidak ada pasal karet, kita tidak berdebat malam ini. Kalau kita lihat Pasal 27 ayat 3 kita bicara subjek dan objek, dalam praktek yang dihina A (tapi) yang melaporkan B," kata Refly.

Dia mencontohkan, jika ada yang mengkritik Kepolisian atau Kejaksaan, sebagai institusi seharusnya tidak boleh merasa terhina.

“(Institusi) Itu benda mati, gak punya perasaan. Saya gak setuju lapor melapor dengan UU ITE karena itu mengganggu demokrasi Indonesia," ujarnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menambahkan, apa yang ditolak sejumlah pihak dalam UU ITE hanya pasal-pasal tertentu.

“Tidak seluruh UU. Yang dibicarakan bukan menghapus UU, tapi menghapus pasal-pasal karet yang korbannya ada di depan mata kita," kata Asfinawati.

Baca Juga: Ketua PBNU Anjurkan Revisi UU ITE Tetap Atur Ujaran Kebencian

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya