TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Alasan AN Pilih Jalur Non Pengadilan untuk Hadapi Kasus Pelecehan 

Diksi 'damai' di media memperburuk kondisi psikis AN

Ilustrasi pemerkosaan. IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times – Mahasiswi Universitas Gajah Mada yang mengalami pelecehan seksual, AN, menegaskan arti sikapnya yang memilih jalur non hukum atau non litigasi untuk menuntaskan kasusnya. Organisasi nirlaba yang mendampingi AN, Rifka Annisa memaparkan mengapa mahasiswi Fisipol itu tidak meneruskan laporannya ke polisi. 

"Pilihan penyelesaian kasus non-litigasi yang diambil oleh AN dan tim kuasa hukum pada hari Senin, 4 Februari 2019 merupakan pilihan yang tidak mudah," demikian isi pernyataan Rifka Annisa di situsnya pada Rabu (6/2). 

Mereka juga menyampaikan banyak media yang keliru memaknai pilihan tersebut. Akhirnya, pesan yang tersampaikan ke publik, AN bersedia menempuh jalur damai untuk menuntaskan kasusnya. 

"Kami sangat keberatan, menolak dan terganggu dengan penggunaan diksi 'damai' di berbagai media massa, sebab hal tersebut menjadi pemicu anggapan AN sudah menyerah terhadap perjuangannya," kata mereka lagi. 

Lalu, mengapa AN akhirnya memilih untuk menyelesaikan kasus ini di luar jalur pengadilan? Apa saja kemajuan yang berhasil ia raih melalui perjuangan selama 1,5 tahun?  

Baca Juga: Polda DIY Beri Sinyal Setop Kasus Dugaan Pemerkosaan Mahasiswi UGM

1. Kondisi psikologis AN semakin menurun melihat perkembangan kasusnya

IDN Times/Daruwaskita

Jalur non litigasi sempat jadi pertimbangan utama, karena kondisi psikis AN yang semakin menurun seiring dengan perkembangan kasus hukum yang dia alami. Posisi AN semakin terpojok apabila jalur hukum yang dipilih. 

"Berdasarkan informasi yang kami terima dari pemeriksaan saksi-saksi, permintaan dari Polda DIY untuk melakukan visum et repertum terhadap AN, hasil pemeriksaan psikologis AN dan tidak adanya tanggapan terhadap permohonan visum psychiatricum, membuat kami berpikir ulang," demikian tulis situs tersebut. 

Pihak Rifka Annisa turut menjelaskan alasan AN menolak untuk dilakukan visum. Hal itu lantaran sudah tidak akan ada lagi bekas luka, lantaran peristiwanya terjadi pada 2017 lalu. 

Belum lagi Polda DIY menyatakan ada fakta di lapangan yang tidak sesuai. Lokasi kejadian di Maluku disebut oleh polisi dekat dengan pemukiman dan tidak terdapat binatang liar. Lokasi pondokan bagi mahasiswi dan mahasiswa hanya berjarak 50 meter. 

"Sementara, yang dimaksud AN sejak awal dan disampaikan juga di dalam laporan Balairung Press lokasi pondokan AN dengan teman perempuannya yang jauh. Di lokasi itu, juga kadang kala terdapat babi hutan," kata mereka. 

Pernyataan itu, kata organisasi Rifka Annisa condong menuding Balairung Press telah menyebarkan informasi bohong. 

"Artinya, ada tendensi Balairung Press juga akan dikriminalisasi," tutur dia. 

2. Adanya victim blaming

IDN Times/Sukma Shakti

Pada 21 Januari, AN diberi tahu hasil kerja Komite Etik UGM, di mana dari 7 orang anggota, ada 4 orang menyatakan tidak ada pelecehan seksual. Empat orang itu berpendapat yang terjadi adalah perbuatan asusila. Namun anggota lainnya menyatakan bahwa kasus tersebut adalah pelecehan seksual dan pelanggaran berat.

Kesimpulan “tindak asusila” sangat melukai rasa keadilan AN, karena di awal pertemuan, AN dijanjikan penyelesaian yang berperspektif dan berkeadilan gender, namun dengan adanya kondisi ini justru mempertegas adanya victim blaming.

3. Polisi sempat menyatakan tidak ada pelecehan seksual yang menimpa AN

hanya ilustrasi / tippytricks.com

Keadilan seolah semakin menjauh dari AN. Hal itu semakin terlihat jelas ketika Kapolda DIY, Irjen (Pol) Ahmad Dofiri mengatakan kepada media baik AN dan pelaku sudah berdamai. 

"Kan hasilnya kemudian di antara mereka (HS dan korban) sendiri ternyata berdamai. Itu yang kita harapkan, karena perkosaan dan pelecehan seksual tidak ada," kata Ahmad kepada media kemarin. 

Dari pernyataan itu, kuasa hukum dan AN mencium adanya gelagat untuk menghentikan proses penyelidikan. Padahal, perjuangan AN sudah cukup lama yakni 1,5 tahun yang lalu agar ia bisa memperoleh keadilan sebagai hak korban. 

4. Jalur non pengadilan memungkinkan tidak adanya tindak kriminalisasi

UPI.com

Di dalam keterangan tertulis itu, organisasi Rifka Annisa menyebut AN tidak ingin memikirkan nasibnya seorang diri. Oleh sebab itu, penyelesaian melalui jalur non litigasi dianggap lebih mampu menjamin pemulihan hak-hak penyintas. 

"Ini juga mencegah terjadinya tendensi kriminalisasi baik ke AN dan jurnalis Balairung Press," tutur mereka. 

Mereka mengakui semua pilihan yang ditempuh menghasilkan konsekuensi masing-masing. Kini, di tim mereka, sedang dipertimbangkan langkah lanjutan lainnya yang memiliki dampak paling kecil ke AN dan memenuhi rasa keadilan. 

Baca Juga: Kronologi Kasus Pemerkosaan Mahasiswi UGM Berakhir Damai

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya