TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

19 Juta Anak di Dunia Belum Vaksin Lengkap, Apa Kabar Anak Indonesia?

#MenjagaIndonesia anak Indonesia sehat dan ceria

Ilustrasi kegiatan di Posyandu. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Jakarta, IDN Times - Vaksin saat ini menjadi sebuah formula yang paling dicari saat pandemik COVID-19 menghantam berbagai belahan dunia. Ketiadaan vaksin terbukti menimbulkan wabah penyakit, sehingga imunisasi menjadi hal mendasar terutama bagi anak.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dari laman idai.or.id,  imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan anak sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut.

Meski demikian, masih ada lebih dari 19 juta anak di dunia yang tidak divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya, sehingga membuat mereka sangat berisiko menderita penyakit-penyakit yang berpotensi mematikan.

Dari anak-anak ini, 1 dari 10 anak tidak pernah menerima vaksinasi dan umumnya tidak terdeteksi oleh sistem kesehatan.

Padahal, memperluas akses imunisasi adalah hal yang sangat penting dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG). Vaksinasi tidak hanya mencegah kematian yang terkait akibat penyakit menular seperti tuberkulosis, diare, campak, pneumonia (infeksi paru-paru), polio dan batuk rejan, namun juga mendukung prioritas nasional seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.

Lalu bagaimana perkembangan vaksin di Indonesia?

Baca Juga: [LINIMASA] Perkembangan Terbaru Vaksin COVID-19 di Dunia

1. Indonesia gencar imunisasi sejak 1956

Imunisasi bayi di tengah pandemik COVID-19 (ANTARA FOTO/Fauzan)

Dilansir halaman Kemenkes.go.id, sejarah imunisasi di Indonesia dimulai dengan imunisasi cacar yang dicanangkan pada 1956, kemudian dilanjutkan imunisasi campak pada 1963, lalu selang waktu yang cukup jauh mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberculosis pada 1973, disusul imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil di 1974, imunisasi difteri, pertusis, tetanus DPT pada bayi pada 1976, lalu polio di 1981, campak 1982 dan hepatitis B pada 1997, hingga inisiasi imunisasi Haemophilus Influenza tipe B dalam bentuk vaksin pentavalen.

Adapun keunggulan vaksin Pentavalen (DPT-HB-Hib) jika dibandingkan dengan program imunisasi sebelumnya adalah mengurangi risiko lima penyakit sekaligus, mengurangi kesakitan pada anak, dan mengurangi kunjungan ke Posyandu.

Kemenkes mulai menginisiasi vaksin Rubella (2017) ke dalam program imunisasi nasional dan melakukan program demonstrasi vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks bagi siswi dan remaja putri (2016) di beberapa provinsi.

2. Imunisasi dasar anak masih mencapai 57,9 persen

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

Ancaman wabah di Indonesia pernah terjadi akibat kurangnya rendahnya penyebaran imunisasi di Indonesia. Anak-anak di paling rentang karena ketiadaan vaksin.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi imunisasi dasar lengkap anak Indonesia usia 12-23 bulan mencapai 57,9 persen. Sementara 32,9 persen masih belum lengkap, dan 9,2 persen anak Indonesia tidak melakukan imunisasi.

3. Wabah difteri, rubella dan campak menyerang anak Indonesia

Tenaga medis yang memberikan vaksin campak, tetanus, rubella, dan polio kepada bayi berusia 3 bulan di Republik Demokratik Kongo. Foto diambil pada 10 November 2018 oleh Prinsloo untuk UNICEF.

Indonesia juga masih menghadapi wabah difteri pada tahun 2019 sampai Februari 2020 dengan jumlah kasus 657 orang dan korban jiwa 23 orang. Di periode yang sama, kasus campak mencapai 624 jiwa, lalu rubella sebanyak 671 kasus.

Dampak penyakit-penyakit ini bersifat jangka panjang. Campak Indonesia pada periode 2012 sampai 2017 membuat 571 jiwa mengalami radang otak, lebih dari 2,8 ribu orang radang paru, dan 5,7 ribu orang mengalami diare serta infeksi telinga.

Sementara pada periode 2012 sampai 2018 di rumah sakit tipe A sebanyak 1660 bayi lahir cacat akibat rubella.

Baca Juga: Erick Thohir: Biaya Imunisasi Vaksin COVID-19 Ditanggung Pemerintah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya