TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

ICW Desak Presiden Jokowi Panggil Kepala BKN dan Pimpinan KPK

Ada delapan poin hasil kesepakatan ICW

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta, IDN Times - Pemberantasan korupsi akhirnya menemui 'ajalnya'. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca-melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Setelah rapat lintas kementerian dan KPK, diputuskan 51 pegawai lembaga antikorupsi itu dipaksa keluar dari komisi antirasuah. Untuk itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Dewan Pengawas KPK segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh pimpinan KPK terkait pemberhentian puluhan pegawai dalam TWK.
 
"Meminta Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur kepala BKN dan seluruh pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK, dan membatalkan keputusan pimpinan KPK dan kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN)," tulis ICW dalam siaran tertulis, Rabu (26/5/2021).

Baca Juga: BKN: 51 Pegawai KPK Tersangkut di Aspek Pancasila dan UUD 1945

1. Penyelenggaraan TWK dianggap ilegal

Youtube/ JIB Post

Desakan ICW tersebut dilakukan dianggap telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Betapa tidak, sejak awal sudah ditegaskan penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal. Sebab, TWK diselundupkan secara sistematis oleh pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021).

"Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020, tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK," sebut ICW.

Kedua, menurut ICW, putusan mengeluarkan 51 pegawai KPK secara terang-benderang menghiraukan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana dalam putusannya, MK sudah mengumumkan pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.

"Kemudian, jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Lagi pun mesti dipahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain," sebut ICW.

2. Proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional dan diduga melanggar HAM

Ilustrasi eks pimpinan KPK (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Ketiga, ICW melihat substansi pertanyaan dalam TWK yang diinisiasi pimpinan KPK bersama lembaga lain bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Merujuk pada beberapa pemberitaan yang beredar luas di tengah masyarakat, pertanyaan-pertanyaan TWK menyentuh ranah privasi warga negara.

"Dapat dibayangkan, perihal kehidupan pribadi, pandangan politik, dan agama turut dijadikan dasar penilaian. Bahkan, proses wawancara juga dilakukan secara tidak profesional. Hal itu dapat merujuk kepada fakta bahwa panitia penyelenggara tidak menyediakan alat rekam saat dilakukan proses tanya jawab dengan pegawai KPK berlangsung," terang ICW.

3. Banyak ketentuan yang bertentangan

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) demo KPK (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Keempat, ICW berpendapat kebijakan pimpinan KPK memasukkan TWK dalam Peraturan Perkom 1 Tahun 2021 telah melanggar kode etik. Merujuk pada Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat banyak ketentuan yang saling bertentangan.

"Mulai dari poin integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, dan kepemimpinan. Berlandaskan pada pelanggaran itu, maka beberapa waktu lalu sejumlah pegawai KPK melaporkan seluruh Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas," sebut ICW.

4. Pimpinan KPK dan kepala BKN dianggap sebagai upaya pembangkangan perintah Presiden Joko Widodo

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Kelima, lanjut ICW, konsep TWK terlihat ahistoris dengan kondisi sebenarnya. Beberapa waktu terakhir sejumlah pegawai KPK menyebutkan rangkaian seleksi “Indonesia Memanggil” dan sejumlah pelatihan yang didapatkan pasca-terpilih menjadi pegawai lembaga antirasuah itu.

"Dalam penjelasan ditemukan fakta bahwa saat terpilih menjadi pegawai, mereka turut melewati program induksi selama 48 hari yang di dalamnya juga terdapat materi wawasan kebangsaan dan bela negara. Jadi, TWK itu jelas tidak dibutuhkan lagi untuk diterapkan, apalagi dijadikan batu uji untuk menilai wawasan kebangsaan pegawai KPK," tegas ICW.

Keenam, menurut ICW, pernyataan pimpinan KPK dan kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan atas perintah Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, beberapa waktu lalu Presiden telah menegaskan TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK.

"Namun, faktanya dua lembaga itu malah menganggap pernyataan Presiden sebagai angin lalu semata," kata ICW.

Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan, presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.

Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden.

5. Diduga sejumlah kelompok bersekongkol dengan pimpinan KPK

Ketua KPK Firli Bahuri menetapkan Wali Kota Tanjungbalai Syahrial Batubara sebagai tersangka kasus suap, Kamis (22/4/2021) (Screenshoot Youtube KPK RI)

Selain itu, ICW melihat, putusan untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK terkesan terburu-buru tanpa didahului dengan melakukan mekanisme evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan TWK.

"Sejak polemik TWK ini menguak ke tengah publik, terdapat sejumlah elemen dan organisasi yang mengkaji keabsahan pemberhentian pegawai KPK. Mulai dari masyarakat sipil, organisasi keagamaan, mantan Pimpinan KPK, bahkan puluhan guru besar telah mengeluarkan sikap penolakan penyelenggaraan TWK dan hasilnya dengan berbagai alasan yang logis dan berdasar hukum," sebut ICW

Untuk menegaskan berbagai pelanggaran, sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK juga mendatangi beberapa lembaga negara, di antaranya Ombudsman dalam konteks perbuatan maladminstrasi dan Komnas HAM.

Terakhir, ICW menduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK.

"Indikasi ini menguat tatkala para pendengung (buzzer) memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK. Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan Taliban dan radikalisme di KPK," sebut ICW.

Baca Juga: 51 Pegawai KPK Tetap Dipecat, PKS: Kok Beda dari Harapan Presiden?

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya