TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

RUU Kejaksaan Disorot, Jaksa Jangan Serakah dalam Penegakan Hukum!

Pasal penyadapan oleh jaksa juga dikritik

Bendera Merah Putih ikut hangus akibat gedung Kejagung terbakar pada Sabtu (22/8/2020) (IDN Times/Aryodamar)

Jakarta, IDN Times - Revisi Undang-Undang Kejaksaan tengah menjadi sorotan. Sebab, sejumlah pasal dalam Perubahan UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan itu dianggap sengaja memberikan keleluasaan berlebihan terhadap wewenang jaksa dalam penegakan hukum.

"Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” kata Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada wartawan di Jakarta, seperti dikutip ANTARA, Minggu (27/9/2020).

Kesan Kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum, menurut Fickar terlihat jelas lantaran kejaksaan dinilai hendak mengambil banyak tugas dan fungsi dalam revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.

Baca Juga: Ada 8 Poin RUU Kejaksaan, Baleg DPR Sepakat Bentuk Panja

1. Kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono (tengah) memberikan keterangan pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/9/2020) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Revisi UU Kejaksaan menjadi sorotan karena ada perluasan wewenang bagi jaksa, yakni bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penuntutan sebagaimana tertulis di Pasal 1 Ayat (1).

Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan UU.

Menurut dia, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya, yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja.

Selain polisi, katanya, selama ini penyidikan juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jadi, jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja, seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum," ujarnya.

 

2. Wewenang jaksa dalam melakukan penyadapan dikritisi

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono bersiap mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Fickar mengatakan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif saja bagi pemerintah karena fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat.

"Jangan mengambil peran profesi advokat," ujarnya.

Selain itu, Fickar mengatakan secara universal di belahan dunia manapun bahwa jaksa hadir dalam konteks sistem penegakan hukum yang berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya.

Fickar juga turut mengkritisi fungsi intelijen kejaksaan, yakni menyadap tidak boleh diberikan secara umum tanpa izin pengadilan karena jaksa dalam status "dominis litis" hanya dapat mengendalikan khusus perkara pidana.

"Karena itu, penyadapan pun harus dalam konteks perkara pidana dan tetap harus ada izin pengadilan," ujar dia.

Baca Juga: Satu Pasal di RUU Kejaksaan Jadi Sorotan Baleg DPR

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya