TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal Din Syamsuddin, Menag Yaqut: Jangan Gegabah Menilai Radikal  

stigma negatif muncul karena kurang komunikasi antar pihak

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan paparan saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/1/2021) (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Jakarta, IDN Times - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok. Hal itu disampaikan Menag berkaitan dengan Din Syamsuddin yang dituduh sebagai bagian dari kelompok radikal oleh Gerakan Antiradikalisme Alumni Institut Teknologi Bandung (GAR ITB).

Yaqut mengingatkan bahwa memberikan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain. 

“Kita harus subjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar Menag Yaqut melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (13/2/2021). 

Baca Juga: Profil Din Syamsudin, Tokoh Muhammadiyah yang Dituding Radikal

1. Menag menilai stigma negatif muncul karena kurangnya komunikasi antar pihak

Yaqut Cholil Qoumas (Dok. ANTARA News)

Stigma atau cap negatif, menurut Menag, seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi. Untuk itu, menciptakan pola komunikasi yang cair dan dua arah adalah sebuah keniscayaan, lebih-lebih di era keterbukaan informasi sekarang ini. 

Stigma radikal bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain. 

“Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid,” ujar Gus Yaqut, sapaan akrab Menag. 

2. Menag sebut kritis berbeda dengan radikal

Mantan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Dengan model tabayyun atau silaturahmi ini, lanjut dia, maka seseorang atau kelompok juga akan terhindar dari berita bohong atau yang bernuansa fitnah. Untuk itu, Yaqut mengajak seluruh komponen bangsa untuk mengutamakan komunikasi yang baik dan menempuh cara klarifikasi jika terjadi sumbatan masalah. 

Jika pola ini diterapkan, Menag optimistis, segala polemik berkepanjangan atau kekisruhan yang seringkali muncul dan merugikan bangsa ini bisa dicegah. 

“Saya tidak setuju jika seseorang  langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal. Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN. Namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang,” ujar Gus Yaqut. 

3. Pelanggaran kode etik ASN sudah ada ranah yang mengaturnya

Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Dok. IDN Times/Istimewa)

Menag menegaskan, terkait dugaan pelanggaran Din Syamsuddin yang statusnya masih sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sebenarnya sudah jelas ada regulasi yang mengaturnya. Prosedur penyelidikan pun telah diatur secara komprehensif oleh negara, antara lain melalui inspektorat maupun KASN. 

Dengan dasar tersebut, Menag Yaqut berharap, semua pihak untuk duduk bersama membahas persolan ini dengan proporsional. 

“Persoalan disiplin, kode etik dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita secara mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya,” tegas Menag.

Baca Juga: Mahfud MD: Din Syamsuddin Kritis, Bukan Radikalis!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya