TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Penemu GeNose Tantang Debat, Ini Reaksi Epidemiolog Dicky Budiman

GeNose dibuat untuk skrining COVID-19 di faskes

Dok pribadi Dicky Budiman, Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia

Jakarta, IDN Times - Dosen dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus penemu alat deteksi COVID-19 berbasis embusan napas, GeNose, Kuwat Triyana menantang debat epidemiolog yang kerap mengkritisi alat temuannya tersebut, karena dinilai tidak tepat sebagai alat skrining COVID-19 di fasilitas umum atau bagi pelaku perjalanan.

Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman menilai ajakan debat Kuwat soal GeNose bersifat prematur dan tidak relevan.

"Saya pribadi bukan tidak mau berdebat. Tapi terlihat tidak kritis dan independen dalam memandang suatu hasil riset. Selain itu, rujukan risetnya masih sangat kurang. Kecuali kalau pemerintah yang ajak debat, saya mau,” kata Dicky saat dihubungi IDN TImes, Rabu (17/2/2021).

Baca Juga: Epidemiolog: Tes GeNose untuk Dongkrak Pariwisata Sangat Berbahaya

1. Konsep awal GeNose diciptakan untuk skrining COVID-19 di faskes

Launching GeNose di Stasiun Pasar Senen (IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya)

Menurut Dikcy, konsep awal GeNose diciptakan adalah untuk melakukan skrining di fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit. Dia pun mendukung jika GeNose diperuntukan di tempat tersebut, sesuai dengan konsep awal alat itu diciptakan.

Namun pada kenyataannya, alat tersebut justru digunakan untuk melakukan skrining di fasilitas umum. Hal itu justru dinilainya salah kaprah dan tidak sesuai dengan konsep ilmiahnya.

“Mesin ini kan mesin pintar, kecerdasan buatan yang dibangun kecerdasannya itu dengan data yang sesuai setting-nya. Kalau setting-nya untuk faskes, si mesin ini akan mudah terlatih untuk mendeteksi kasus-kasus di fasilitas itu. Di stasiun kan beda, orang sehat dan sakit itu beda aktivitasnya,” ujar Dicky.

2. Belanda menghentikan alat skrining COVID-19 berbasis embusan napas karena hasilnya tidak tepat

Mesin GeNose (Dok. Humas Pemprov Jateng)

Dokter lulusan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini menjelaskan, jika GeNose digunakan di tempat yang bukan seharusnya, maka hasil skriningnya pun akan jauh berbeda. Bahkan, kata dia, Belanda yang juga memiliki alat serupa GeNose sudah menghentikan penggunaannya sebagai skrining COVID-19.

“Di sana dihentikan karena hasil false negatifnya banyak sekali. Jangankan tes napas, rapid test antigen PCR yang namanya false negatif tinggi, apalagi ini yang belum teruji,” tuturnya.

3. Dicky menyebut GeNose akan menjadi masalah baru dalam penanganan pandemik di Indonesia

Alat GeNose besutan peneliti UGM. Dok: istimewa

Karena itu, Dicky pun mengimbau kepada pemerintah untuk tidak lagi menggunakan GeNose sebagai alat skrining di fasilitas umum seperti stasiun dan terminal. Jika dilanjutkan, bukan tidak mungkin pandemik di Indonesia akan semakin lama untuk dikendalikan.

“Ini berbahaya dalam situasi pandemik Indonesia yang belum terkendali digunakan alat ini (GeNose), apalagi di fasilitas umum. Wah itu namanya bukan menyelesaikan masalah, tapi menciptakan masalah,” ujarnya.

Baca Juga: GeNose Bakal Dipakai di Area Pariwisata untuk Pulihkan Ekonomi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya