TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Peristiwa dan Kebijakan Politik Era Jokowi yang Dinilai Melemahkan KPK

Mulai dari Hak Angket KPK hingga penyiraman air keras Novel

Ilustrasi gedung KPK. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menjadi sorotan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang dinilai dapat melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Publik menilai ada upaya-upaya dari internal maupun eksternal untuk menjatuhkan wibawa KPK. Jelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, IDN Times  merangkum beberapa peristiwa dan kebijakan politik yang dianggap sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Apa saja? Berikut rangkumannya.

1. Hak Angket oleh DPR terhadap KPK

IDN Times/Irfan Fathurohman

Menjelang pertengahan 2017, KPK mendapatkan serangan dari mitra kerjanya di Komisi III DPR dengan digulirkannya Hak Angket. Saat itu, KPK tengah gencar-gencarnya mengusut kasus mega proyek KTP-El yang disinyalir merugikan keuangan negara karena ada indikasi korupsi di dalamnya.

Saat itu, KPK terlebih dahulu mencokok Anggota DPR Komisi II dari Partai Hanura yaitu Miryam S Haryani. Dalam keterangannya, Miryam menyebut sejumlah nama-nama koleganya di DPR yang ikut menikmati uang haram dari proyek tersebut dan disampaikan oleh KPK saat rapat kerja dengan Komisi III.

Mendengar adanya pengakuan itu, DPR ingin mengetahui sendiri kebenaran dari “nyanyian” Miryam dengan membuka rekaman berita acara pemeriksaan (BAP). KPK menilai hal tersebut tidak perlu dilakukan, salah satu alasannya karena masih ada materi yang akan disampaikan saat persidangan Miryam berikutnya.

Merasa tidak percaya dengan penyidikan yang dilakukan oleh KPK, Komisi III pun mengancam akan menggunakan instrumen parlemen dengan hak angket sampai akhirnya dibentuklah Pansus hak angket.

Menanggapi hal tersebut, sejumlah pegiat antikorupsi tanah air menilai bahwa hak angket KPK adalah salah kaprah. Menurut Pasal 79 ayat 3 UU MD3 bahwa hak angket hanya bisa ditujukan kepada pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK.

Pansus KPK akhirnya melahirkan 10 rekomendasi, salah satunya adalah dari aspek kewenangan yang meminta KPK untuk memperhatikan prinsip hak asasi manusia serta mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Baca Juga: [WAWANCARA] Lili Pintauli Siregar: Gila Aja Kalau Ingin Lemahkan KPK

2. Revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

DPR secara resmi mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019 lalu. Publik menilai bahwa revisi tersebut seakan membuat lembaga antirasuah itu tak bisa bergerak leluasa. Adanya dewan pengawas KPK dianggap menjadi salah satu penyempitan ruang gerak KPK dalam berburu para "tikus" negara.

Tak hanya itu, KPK yang dijadikan sebagai lembaga pemerintah membuat publik semakin ragu pada masa depan lembaga tersebut. Independensi KPK pun menjadi diragukan.

Dalam revisi UU tersebut terdapat tujuh poin yang disepakati oleh DPR dan pemerintah. Pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.

Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan. Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK.

Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.

Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan, dan ketujuh terkait sistem kepegawaian KPK.

3. Pansel capim hingga Ketua KPK Firli Bahuri yang menuai banyak polemik

(Pansel capim KPK periode 2019-2023) IDN Times/Santi Dewi

Publik menilai sembilan nama anggota panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diumumkan Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 17 Agustus lalu penuh kontroversi. Beberapa nama dinilai dekat dengan institusi Polri, tak terkecuali Yenti Ganarsih yang ditunjuk oleh Jokowi sebagai Ketua Pansel Capim.

Yenti dan anggotanya Harkristuti Harkrisnowo diketahui terlibat aktif sebagai tim RKUHP yang cenderung melemahkan pasal-pasal pemberantasan korupsi dan KPK.

Selain itu ada nama Hendardi yang dikenal dekat dengan institusi kepolisian. Ia diketahui menjabat sebagai penasihat Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian di bidang HAM. Ia juga dilibatkan oleh Tito menjadi anggota pakar tim gabungan kasus teror Novel Baswedan. Namun, hingga kini belum ada perkembangan yang signifikan.

Prediksi publik pun akhirnya benar, Pansel Capim KPK bersama DPR akhirnya meloloskan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2013. Firli pernah terlibat pelanggaran kode etik saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Sebelumnya, mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) itu terpaksa hengkang dari institusi antirasuah karena diadukan telah melanggar kode etik dengan menemui terperiksa kasus dugaan korupsi divestasi PT Newmont, Muhammad Zainul Majdi alias TGB.

Ia dilaporkan oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi. Berdasarkan informasi yang diterima oleh KPK, Firli tidak hanya sekali menemui TGB. Namun, sampai empat kali. Seringnya bertemu dengan TGB membuka peluang keduanya turut membahas kasus dugaan korupsi itu.

Baca Juga: Kasus Air Keras Belum Terungkap, Novel Masih Terus Dihantam Info Hoaks

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya