TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Beda Sikap Pimpinan KPK soal Wacana Presidential Threshold 0 Persen 

Dua Anggota DPD gugat presidential threshold ke MK

5 pimpinan KPK: Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar (IDN Times/Aryodamar)

Jakarta, IDN Times - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi punya sikap yang berbeda mengenai wacana presidential threshold atau ambang batas dalam pemilu presiden sebesar 0 persen. Ketua KPK Firli Bahuri mendukung hal itu demi mencegah 'bohir' politik, sementara Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut itu sikap pribadi Firli, bukan KPK.

"Omongan pak Firli itu merupakan pendapat atau argumen yang bersangkutan pribadi, bukan merupakan hasil kajian kelembagaan KPK," ujar Nawawi dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis (16/12/2021).

Baca Juga: Ketum PKB Muhaimin Usul Presidential Threshold Turun Jadi 5-10 Persen 

Baca Juga: Menjelang Pilpres 2024, PKB Usul Presidential Threshold 10 Persen

1. Nawawi Pomolango sebut KPK lebih cocok bahas dari sisi pemberantasan korupsinya

(Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango) ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Meski berbeda pendapat, Nawawi tetap menghargai pendapat koleganya itu karena merupakan hak sebagai warga negara. Namun, menurutnya KPK lebih cocok mengomentari presidential threshold 0 persen dari sisi pemberantasan korupsinya seperti sistem penyelenggaran pemilu yang jadi potensi perilaku korupsi.

"Materi yang ini yang mungkin KPK bisa ikut berperan melakukan kajian-kajian dan selanjutnya merekomendasikan kajian tersebut kepada Pemerintah dan DPR," ujarnya.

Baca Juga: Golkar Usul Presidential Threshold Pemilu 2024 Naik 7 Persen

2. Firli sebut presidential threshold bisa munculkan politik balas budi

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Ketua KPK Firli Bahuri tiba untuk menghadiri peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 2021, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (9/12/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Diberitakan sebelumnya, Firli setuju dengan presidential threshold 0 persen di Indonesia karena bisa menghilangkan politik balas budi yang kerap terjadi. Menurut Firli, adanya ambang batas dalam pencalonan presiden membuat modal menjadi besar sehingga potensi korupsi terjadi.

"Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi 'balik modal'. Di sisi lain mencari bantuan modal dari 'bohir politik' akan mengikat politisi-politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup," kata Firli melalui keterangan tertulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya