"Jalan Mulus" Revisi UU KPK: Perdebatan dan Kesepakatan dalam 12 Hari
Rapat pembahasan digelar tertutup
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Selasa (17/9) siang itu, ruang paripurna DPR RI terlihat cukup lengang. Padahal, salah satu agenda sidang paripurna ke-9 tahun 2019 salah satunya mengesahkan revisi UU KPK. Berdasarkan perhitungan kepala (headcount) di ruang rapat Paripurna pada pukul 11:15 WIB atau saat sidang paripurna dibuka, tercatat hanya 80 anggota yang hadir.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Utut Adianto itu, terbilang lancar ketika sampai pada pembahasan untuk kemudian mengesahkan draf revisi UU KPK. Setidaknya hanya membutuhkan 20 menit hingga palu diketok.
Tujuh fraksi setuju dan ada tiga fraksi yang memberi catatan. Mereka adalah Demokrat, Gerindra, dan PKS. Ketiga fraksi kompak menyoroti terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK. Menurut mereka pemberian kewenangan dalam menunjuk sosok-sosok yang akan menduduki jabatan Dewan Pengawas KPK.
Anggota fraksi Gerindra, Edhy Prabowo, mengatakan pihaknya masih memiliki ganjalan terkait pengesahan UU KPK hasil revisi, tepatnya pada poin pembentukan Dewan Pengawas KPK.
Edhy menjelaskan, Gerindra tidak bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Dewan Pengawas bila nantinya malah jadi melemahkan KPK.
"Ini ke depan, kalau masih dipertahankan, saya tidak bertanggung jawab penyalahgunaan semangat penguatan KPK yang ujungnya nanti malah melemahkan," kata Edhy dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (17/9).
Sementara itu, anggota fraksi PKS, Ledia Hanifa, menyampaikan bahwa partainya tak setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK. Sebab Dewan Pengawas dikhawatirkan menjadi suatu organisasi yang tidak bekerja secara independen dan kredibel.
Pun demikian dengan persoalan pemilihan Dewan Pengawas yang menjadi kewenangan mutlak Presiden, kata Ledia, PKS menganggap ketentuan tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal revisi UU KPK, yakni membentuk Dewan Pengawas yang profesional dan terbebas dari intervensi.
Tak cuma itu, permintaan izin penyadapan atas seizin Dewan Pengawas juga digarisbawahi PKS. Kata Ledia, KPK seharusnya cukup memberitahukan, bukan meminta izin kepada Dewan Pengawas yang diiringi dengan pemantauan dan audit ketat agar penyadapan tidak dilakukan secara semena-mena dan melanggar hak asasi manusia.
"Fraksi PKS menolak pemilihan anggota Dewan Pengawas yang (seharusnya) menjadi hak mutlak DPR serta keharusan KPK dalam meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam RUU KPK," ucapnya.
Terakhir, anggota fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani, mengingatkan terkait kemungkinan abuse of power dari pemberian kewenangan kepada presiden untuk membentuk Dewan Pengawas KPK. Seharusnya pembentukan itu tidak menjadi kewenangan presiden.
"Demokrat beri catatan khusus terkait Dewan Pengawas. Demokrat ingatkan adanya kemungkinan abuse of power apabila Dewan Pengawas dipilih presiden. Demokrat berpandangan Dewan Pengawas tidak jadi kewenangan Presiden," ucapnya.
Seolah sudah dikoordinasi, fraksi-fraksi setuju menjadikan revisi UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR. Sidang pun selesai tapi tidak dengan tanda tanya tentang kesepakatan pemerintah dan DPR dalam upaya melemahkan KPK.
1. KPK bantah dilibatkan pembahasan revisi UU KPK sebelum disahkan
Hal itu berawal dari Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, yang terlibat silang pendapat dengan Menkum HAM Yasonna H Laoly, soal pembahasan revisi UU KPK sebelum disahkan. Poin perbedaan pendapat itu yakni soal dilibatkannya KPK sebelum UU KPK disahkan.
Pernyataan ini pertama kali disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo saat menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK ke Presiden Joko Widodo. Saat itu, pimpinan KPK menyampaikan kekecewaan karena KPK tak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Agus mengatakan, KPK sempat mendatangi Yasonna di Kemenkum HAM untuk mengetahui poin UU KPK yang direvisi. Agus mengaku tidak tahu draf UU KPK yang dibahas pemerintah bersama DPR. KPK khawatir revisi UU KPK akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
"Kami ini kalau ditanya anak buah dan seluruh pegawai tidak mengetahui apa isi undang-undang itu, bahkan kemarin kami menghadap Menkum HAM untuk sebetulnya ingin mendapat draf resmi seperti apa. Nah kemudian Pak Menteri menyatakan nanti akan diundang," kata Agus di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (13/9).
Yasonna lalu angkat bicara menepis anggapan bahwa pemerintah dan DPR tak pernah melibatkan KPK dalam pembahasan RUU KPK. Ia mengatakan sempat menerima kedatangan Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif untuk membicarakan revisi UU KPK.
"Saya berkomunikasi dengan Pak Laode, saya menerima Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo di kantor saya mengenai soal ini. Saya sampaikan poin-poin yang kita sepakati," kata Yasonna seusai rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).
Yasonna menyatakan, dalam pertemuan itu, dirinya menjelaskan materi revisi RUU KPK. Ia mengaku di antaranya membahas status KPK menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan pegawainya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Yasonna juga mengaku membahas pembentukan Dewan Pengawas KPK dan izin penyadapan.
"Di sini kita atur kewenangan penyadapan itu kita atur supaya baik, supaya tidak ada penyalahgunaan, abuse of power. Maka dikatakan harus ada izin penyadapan. Bahkan waktu perdebatan izin penyadapan itu ada yang mengatakan hanya pada tingkat penyidikan, kita katakan 'tidak'," kata Yasonna.
Pernyataan Yasonna ditanggapi Laode M Syarif. Syarif meminta Yasonna untuk berkata jujur.
"Pak Laoly (Yasonna Laoly) tidak perlu membuat narasi baru dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Saya yakin beliau bertuhan, jadi sebaiknya jujur saja," kata Syarif, Rabu (18/9).
Syarif mengatakan dia bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, serta Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang memang menemui Yasonna. Mereka bermaksud meminta daftar inventarisasi masalah (DIM). Namun, Yasonna tidak memberikan DIM.
Selain itu, KPK sudah meminta Yasonna untuk dilibatkan dalam pembahasan DIM tersebut. Tapi permintaan ini tak direspons. KPK berniat membahas DIM tersebut sebelum pemerintah mengambil sikap akhir soal revisi UU KPK.
Namun, lanjutnya, Yasonna mengatakan konsultasi dari publik terkait RUU KPK tidak dibutuhkan lagi karena pemerintah merasa telah mendapatkan masukan yang cukup. Syarif mengatakan Yasonna berjanji mengajak KPK membahas RUU di DPR. Namun hingga akhirnya RUU KPK disahkan, KPK tidak diajak dalam pembahasan di DPR.
"Pak Laoly berjanji akan mengundang KPK saat pembahasan di DPR tapi Pak Laoly juga tidak memenuhi janji tersebut," tuturnya.
Terkait pernyataan Syarif, Yasonna tak terima dituduh mengaburkan fakta soal revisi UU KPK. Yasonna mengklaim sudah menjelaskan kepada Syarif soal poin-poin revisi UU KPK. Yasonna mengatakan dirinya dihubungi Syarif untuk bertemu.
"Saya jelaskan dulu ya. Katanya Pak Yasonna berbohong. Apa yang saya bohongi? Pak Laode itu menelepon saya, mau bertemu beliau dan Pak Agus. Saya bilang kepada Pak Laode, 'ya kita ketemu besok, bertiga, ya, bertiga', maksudnya saya, Pak Laode dan Pak Agus," kata Yasonna tanpa menjelaskan kapan pertemuan digelar, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
Yasonna menyebut ada empat orang dari KPK yang ada dalam pertemuan tersebut, dua di antaranya yakni Syarif dan Agus. Kemudian, Yasonna menjelaskan soal DIM pemerintah dalam revisi UU KPK yang disampaikan ke DPR.
Yasonna tak menampik bahwa Syarif meminta agar KPK dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK. Namun, dia mengaku tak punya kewenangan untuk memenuhinya.
"Beliau mengatakan kepada saya, 'wah kalau boleh kita didengarkan'. Saya bilang begini, 'bola untuk mendengarkan itu bukan di saya, ada di DPR. Tulislah surat ke DPR'. Dan kemudian pimpinan KPK menulis surat ke DPR," terangnya.
Yasonna bahkan mengklaim telah membantu agar KPK dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK. Tapi justru dari pihak DPR seperti menolak.
"Pada waktu sebelum pembahasan tingkat I, pada forum pertemuan dengan pimpinan Baleg, saya sampaikan, boleh dikonfirmasi, ada surat dari KPK ke DPR. Awalnya saya telepon pak ketua, siang-siang, Ketua DPR, (kata Ketua DPR) belum sampai tapi pada saat pembahasan di Baleg mereka mengatakan sudah sampai," papar Yasonna.
"Bagaimana sikap baleg? Baleg mengatakan, 'dulu kan ini UU tertunda, dulu pun sudah dibahas'. Anggota Baleg yang dari Komisi III mengatakan, 'dulu pun raker dengan pimpinan KPK poin-poin ini sudah dibahas, ini sudah masuk panja dan kita menerima DIM pemerintah'. Saya kan gak bisa memaksakan kepada Baleg. Saya ingatkan ada surat dari pimpinan KPK," imbuhnya.
Terkait pihak KPK yang meminta DIM, Yasonna mengaku punya alasan untuk tak memberikan.
Editor’s picks
"(DIM-nya) kan belum saya serahkan pada waktu itu. Itu kan sebelum saya serahkan ke DPR waktu itu," ucapnya.
Baca Juga: Ratusan Mahasiswa UI Ikut Aksi Tolak RKUHP dan Pelemahan KPK