TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Otsus Papua Mengoyak Keamanan dan Kedamaian Orang Asli Papua

Otsus Papua dinilai tak menyelesaikan permasalahan Papua

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Jakarta, IDN Times - Otonomi Khusus  (Otsus) Papua yang lahir sejak 2001 nampaknya tak menyelesaikan akar permasalahan di Papua. Berdasarkan data Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), empat akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.

Padahal, otsus ini memiliki harapan agar Papua tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi dan pada saat yang sama aspirasi masyarakat asli Papua didengar elite Jakarta, serta terakomodasi dengan cara adil dan bermartabat.

Kenyataannya, konflik politik antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan TNI-Polri terus berlangsung. KKB terus memperjuangkan hak-hak politiknya untuk merdeka. 

Selama 20 tahun implementasi, otonomi khusus ternyata belum berhasil mengurai apalagi memecahkan akar masalah konflik Papua yang tertanam sejak 57 tahun lalu. Sebaliknya, otsus justru menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

“Otonomi khusus diperpanjang tanpa mendengar orang Papua, dan keputusan rapat yang dijamin oleh UU Otonomi Khusus. Kami lihat selama 3 tahun terakhir, mereka yang terlibat dalam protes UU itu dikenakan pasal makar,” kata Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua Pendeta Benny Giay dalam diskusi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara virtual, Selasa (13/7/2021).

Lalu bagaimana pandangan Orang Asli Papua (OAP) terhadap Otsus Papua hari ini?

Baca Juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU Otsus Papua Disahkan Jadi UU

1. Otsus Papua sejak awal tak direstui Orang Asli Papua

Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua Pendeta Benny Giay. (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Benny mengatakan, sejak awal masyarakat orang asli Papua tidak merestui adanya otonomi khusus ini. Hal tersebut ia gambarkan dalam rapat keputusan akhir otsus Papua oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

“Tahun 1999 kami menghadiri pembahasan terakhir tentang Otsus Papua diadakan di Gedung Olahraga Jayapura sebelum dibawa ke Jakarta. Saya saksi, saat itu semua orang Papua menolak, tidak setuju dengan Otonomi Khusus. Ada seorang pemuda dari kabupaten ditembak hari itu di depan pimpinan gereja dan masyarakat semua,” kata Benny.

“Otonomi khusus itu bukan orang Papua yang usul, otonomi khusus itu negara yang mengusulkan. Kemudian tahun 2005 tanggal 15 Agustus orang Papua longmarch dari Jayapura ke gedung DPRDP untuk kembalikan otsus, kami tidak percaya,” sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, ia juga melihat pemerintah Indonesia secara sistematis menutup ruang orang asli Papua untuk bersuara di DPRP maupun di Masyarakat Rakyat Papua (MRP). 

“19 Agustus 2019 tentara terus menyerang kami. Kalau Soeharto menggunakan ABRI, Jokowi menggunakan Polisi. Mereka betul-betul secara sistematis membungkam kami soal Otonomi Khusus tanpa memberi ruang orang Papua,” ujarnya.

Nasi telah menjadi bubur, orang asli Papua hanya bisa berharap UU Otsus ini dapat mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Harapan mereka, UU ini dapat berimplikasi pada penarikan pasukan militer ke barak dan akan diikuti pula dengan pola perundingan damai ala Aceh.

Benny merujuk pada perundingan yang dipimpin oleh Wakil Presiden RI ketika itu, Jusuf Kalla, dengan perjanjian damai yang diteken di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Peristiwa bersejarah itu mengakhiri konflik di Provinsi Aceh selama sekitar 29 tahun. 

“Aceh dapat Otsus, Papua juga, tapi Aceh bisa buat partai lokal di dalam Otsus itu, Papua tidak bisa. Aceh bisa kibarkan bendera GAM, Papua (kejora) tidak,” kata Benny.

2. Otsus mengancam jaminan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua

IDN Times/Arief Rahmat

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, meskipun undang-undang sebelumnya memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua, ada banyak fakta bahwa pemerintah tidak serius melaksanakannya. Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun. 

Menurutnya, substansi dalam naskah UU Otsus juga bermasalah karena pada Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua.

“Termasuk melalui pembentukan badan khusus Otsus yang diketuai Wapres. Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam,” kata Usman kepada IDN Times, Selasa (27/7/2021).

UU Otsus Papua pertama kali disahkan pada 2001 sebagai tanggapan atas seruan untuk penentuan nasib sendiri Papua yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Undang-undang itu dimaksudkan untuk memberi orang Papua lebih banyak ruang untuk mengatur diri mereka sendiri sementara masih menjadi bagian dari Indonesia. 

Salah satu fokus utama dari undang-undang tersebut adalah tentang perlindungan hak-hak orang asli Papua, yakni masyarakat adat. 

Istilah ‘masyarakat adat’ dan ‘masyarakat hukum adat’ muncul 62 kali dalam teks undang-undang tersebut. Dalam praktiknya, perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan. 

Pengelolaan sumber daya alam sering kali diabaikan oleh peraturan yang bertentangan. Hal ini dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah tersebut. 

Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektare per tahun. Antara tahun 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektare per tahun.

Baca Juga: Tolak Otsus Jilid II, TPNPB-OPM: Kami Mau Tentukan Nasib Sendiri

3. Protes penolakan Otsus Papua berujung penangkapan

ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Implementasi undang-undang yang tidak konsisten telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus, yang menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir.

Amnesty menyesalkan bahwa protes-protes ini sering kali ditanggapi dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Amnesty mendesak agar para pelaku diproses hukum sesuai standar peradilan yang adil.

Dalam demonstrasi yang baru terjadi pada 14 Juli 2021 di Universitas Cendrawasih, Jayapura, ada setidaknya empat mahasiswa yang terluka setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Setidaknya 23 mahasiswa lainnya ditangkap. 

Pada 15 Juli 2021, pagi itu pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI dibubarkan oleh aparat, dan setidaknya 40 orang dari massa aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, dalam aksi unjuk rasa lainnya di Universitas Cendrawasih pada September 2020, dua pengunjuk rasa diduga terluka akibat pukulan petugas polisi di bagian belakang kepala dan dada. Dalam demonstrasi lain di Kendari, Sulawesi Tenggara, polisi menggunakan helikopter yang terbang rendah untuk memaksa pengunjuk rasa membubarkan diri.

Bahkan diskusi publik tentang otonomi khusus disambut dengan represi. Ketika Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara resmi yang dibentuk oleh undang-undang otonomi khusus, berusaha mengadakan pertemuan publik tentang implementasi otonomi khusus di Merauke pada November 2020, dua anggota MRP dan stafnya ditangkap atas tuduhan makar. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa dituntut.

“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa masyarakat adat Papua diberikan keterlibatan yang berarti dalam undang-undang otonomi khusus,” kata Usman. 

Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mewajibkan negara agar membuka partisipasi publik, menjamin hak masing-masing warga negaranya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atas suatu aturan, langsung maupun melalui wakil yang dipilih. 

Paragraf 5 Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan ketentuan ini dengan memperluas partisipasi publik ke ranah pembuatan dan implementasi kebijakan di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

“Ini hanya bisa terjadi jika pemerintah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai untuk semua orang Papua dan berhenti menggunakan pasal makar untuk mengadili pengunjuk rasa damai,” kata Usman.

4. Pemerintah harus membuka dialog untuk menyamakan pemahaman tentang Otsus Papua

Afirmasi Bagi Masyarakat Papua Dalam RUU Otsus Papua. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pendapat lain diutarakan Koordinator Tim Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo mengatakan, kenyataannya akhir-akhir ini konflik-konflik politik di Papua semakin mengkhawatirkan. 

Di Jayapura dan kota-kota lainnya, ribuan masyarakat adat bersama Masyarakat Rakyat Papua mengembalikan otsus. Sejalan dengan itu, tuntutan untuk dialog internasional dan referendum terus menguat.

Dari hutan di Pegunungan Tengah, kata Muridan, kelompok bersenjata TPNPB/OPM di Puncak Jaya semakin agresif. Di luar negeri, internalisasi konflik Papua juga semakin menemukan jalannya. 

Di Amerika Serikat, 50 anggota Kongres AS mengangkat kembali masalah Papua. Ia juga menilai kebanyakan kebijakan dan praktik negara di semua tingkatan justru kontraproduktif terhadap legitimasi Otsus di mata rakyat Papua. 

Pemerintah pusat dinilai mengecilkan akar masalah Papua dan otsus hanya pada soal-soal sosial, ekonomi dan peningkatan anggaran pembangunan. 

“Semangat dasar otsus yaitu pemihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua hanya ada di dalam pidato pejabat, tetapi tidak termanifestasi di dalam kebijakan nyata,” katanya lewat keterangan tertulisnya.

Ia mengkhawatirkan karena terjebak di dalam siklus konflik Papua yang semakin rumit yang disebabkan oleh kegagalan negara sendiri. Kalaupun benar ada intervensi internasional di dalam gejolak konflik Papua, kata dia, itu karena kegagalan pemerintah yang memberi peluang untuk itu.

"Jika pemerintah gagal mengatasi konflik Papua, cepat atau lambat kita akan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil jalan yang sama buruknya dengan Timor Timur," katanya mengingatkan. 

Ia menambahkan, selain masalah kualitas SDM aparat pemerintah di Jakarta dan di Papua, ketidakpercayaan antarinstitusi negara di Jakarta dan di Papua telah membuat kepemimpinan politik dan praktik pemerintahan di Papua menjadi tidak efektif. 

Pelayanan publik memburuk dan korupsi birokrasi menjadi pandemik. Penegakan hukum seringkali berjalan lambat terlalu lambat dan diskriminatif. Pada ujungnya, katanya, Jakarta dan Papua hanya bisa saling menyalahkan dan terhalang untuk menemukan jalan keluar bersama.

"Negara sekarang ini terseret menjadi bagian dari konflik yang berkepanjangan ini," ujarnya.

Menurut Muridan, perlu diadakan dialog untuk menyelesaikan perbedaan pemahaman antara pemerintah pusat dan pemimpin Papua terhadap akar masalah dan cara mengatasinya. 

Dalam dialog tersebut, kata dia, perlu pemahaman yang sama mengenai UU Otsus Papua. Sebab pemerintah pusat meyakini sejumlah pasal di dalam UU Otsus membahayakan NKRI dan secara konsisten menghalangi implementasinya. Akibatnya, otsus tidak diimplementasikan secara penuh dan kehilangan legitimasi di mata sebagian besar rakyat di Papua.

5. Otsus Papua jadi alasan kelompok pro Papua Merdeka menentukan nasib sendiri

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). (dok. TPNPB-OPM)

Penolakan Otsus Papua masih terus berlangsung hingga hari ini. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua. 

Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan, sejak awal Otsus Papua bukan kehendak masyarakat asli Papua. 20 tahun Otsus Papua berjalan hanya menguntungkan warga non-Papua. 

"Maka kami mau penentuan nasib sendiri dari sisa waktu ini jika Otonomi Khusus Papua jilid II buatan Jakarta itu kami tolak," ujar Sebby Sambom dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (15/7/2021).

Menurutnya, selagi Otsus tidak pernah melibatkan orang asli Papua dan tak dibahas dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) maka ia meminta pemerintah agar memberikan hak politik Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. 

“Tidak ada Otonomi Khusus yang seperti Indonesia lakukan tanpa perjanjian dengan penduduk pribumi, jadi kami anggap cara indonesia yang tidak kompromi dengan orang asli Papua adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM dan juga melawan hukum," ujarnya.

"Mayoritas orang Asli Papua sudah nyatakan sikap menolak Otsus jilid 2, Karena Otonomi Khusus yang tidak ada perjanjian dengan orang asli Papua," sambungnya. 

Baca Juga: Pendeta Benny Giay: Otsus Bukan Keinginan Masyarakat Papua   

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya