TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

RUU Ketahanan Keluarga Masuk ke Ranjang Suami Istri

RUU Ketahanan Kelauarga juga melarang BDSM dan LGBT

Ilustrasi (IDN Times/Kevin Handoko)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga usul DPR yang masuk dalam program legislasi nasional 2020 ini terus menuai kontroversial di masyarakat. RUU tersebut dinilai terlalu jauh mengatur ke ranah privasi bahkan urusan ranjang.

RUU ini diusulkan oleh anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.

Lalu pasal apa saja yang dinilai kontroversial?

Baca Juga: Draf RUU Ketahanan Keluarga, Istri Wajib Mengatur Urusan Rumah Tangga

1. Mengatur kewajiban suami dan istri

IDN Times/Irma Yudistirani

RUU ini mengatur pembagian kerja antara suami dan istri yang hendak diatur oleh negara. Pengaturan tersebut tercantum dalam Pasal 25. Isi dari pasal tersebut berbunyi seperti ini:

(2) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:
a. sebagai kepala Keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan Keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan Keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

(3) Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Donor sperma dan sel telur dapat dipidana

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Ketentuan larangan mendonorkan sperma dan sel telur tertuang dalam Pasal 31 yang terdiri atas dua ayat. Berikut bunyi selengkapnya:

Ayat (1)
"Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan".

Ayat (2)
"Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan".

Pasal 139 mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang disebutkan di dalam Pasal 31 Ayat (1).

Mereka yang melakukannya terancam pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Sementara itu, mereka yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 31.

Ayat (2) terancam hukuman lebih berat sebagaimana diatur pada Pasal 140.

Dalam pasal itu, mereka yang sengaja melakukannya terancam pidana tujuh tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Baca Juga: RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Melanggengkan KDRT

3. Sadomasokisme dinilai menyimpang dan wajib dilaporkan

Ilustrasi borgol (IDN Times/Arief Rahmat)

RUU Ketahanan Keluarga juga mengatur pelaku sadisme dan masokisme atau bondage and discipline, sadism and masochism (BDSM). BDSM adalah aktivitas seksual yang merujuk pada perbudakan fisik, sadisme, dan masokisme yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Berdasarkan Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga, sadisme dan masokisme didefinisikan sebagai penyimpangan seksual. 

"Sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya," demikian bunyi salah satu poin penjelasan Pasal 85.

"Masokisme kebalikan dari sadisme adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya," demikian bunyi poin berikutnya.

Selanjutnya, dalam Pasal 86-89, diatur bahwa pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.

4. LGBT tergolong penyimpangan seksual

Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Terakhir yang tak kalah kontroversial, keluarga atau individu homoseksual dan lesbian wajib melapor. Aturan itu tertuang dalam Pasal 85-89 RUU Ketahanan Keluarga.

Pasal 85 mengatur tentang penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud dalam Pasal 85, salah satunya adalah homoseksualitas.

"Homoseks (pria dengan pria) dan lesbian (wanita dengan wanita) merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama," demikian bunyi salah satu poin penjelasan dalam Pasal 85.

Dalam pasal 86-87, pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.

Dalam Pasal 88-89 diatur tentang lembaga rehabilitasi yang menangani krisis keluarga dan ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor.

Baca Juga: Pengusaha Tolak Cuti 6 Bulan di RUU Ketahanan Keluarga: Gila Aja!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya