HPN 2021: Kehadiran Media Baru Jadi Tantangan Media Arus Utama
Ibarat lomba lari, tapi kaki salah satu peserta diikat #HPN
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Digitalisasi memunculkan kompetisi antara media arus utama (mainstream) dengan media baru, seperti YouTuber dan kreator konten di media sosial. Hal tersebut diakui Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, dan Pemimpin Redaksi Metro TV, Arief Suditomo, menjadi sebuah tantangan.
Perbincangan antara Uni dan Arief tersebut berlangsung dalam acara BaBe (Baca Berita) 1 on 1 memperingati Hari Pers Nasional dengan judul "Jurnalis Senior Bicara Wajah dan Tantangan Pers dan Media di Indonesia Saat Ini", Selasa (9/2/2021).
"Gimana kamu melihat kompetisi antara media arus utama dengan new media?" tanya Uni kepada Arief.
Arief pun mengibaratkan kompetisi antara media mainstream dengan media baru seperti lomba lari. Akan tetapi, untuk media mainstream, kakinya dalam kondisi diikat.
"Ibaratnya seperti kita lomba lari, tapi yang satu kakinya diikat, yang satu bebas, sebebas-bebasnya, ya paling nungguin gugatan atau tuntutan orang akibat pelanggaran salah satu pasal di UU ITE," kata Arief.
Meski begitu, ia mengatakan, keberadaan media baru juga bisa melengkapi media mainstream sebagai sumber informasi masyarakat.
Baca Juga: Hari Pers Nasional, Ini 'Dosa Media' di Tengah Disrupsi Digital
1. Media mainstream dikepung banyak aturan
Arief menjelaskan kaki diikat merupakan perumpamaan banyaknya aturan yang diberlakukan untuk media mainstream. Terlebih, untuk televisi, ada pula pengawas yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"Sementara, khususnya saya, datang dari industri TV, kami dikepung oleh banyak sekali peraturan dari mulai UU Pers, UU ITE, UU Penyiaran, belum lagi ada P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) dari KPI," kata Arief.
Selanjutnya, Arief menambahkan, media TV juga memiliki kode etik dari bermacam asosiasi. Aturan-aturan tersebut pun harus ditaati dan tidak bisa diabaikan.
"Kita misalnya meninggalkan P3SPS KPI akan dikasih peringatan. Kalau KPI kasih peringatan, izin kita akan berisiko dan saya pikir itulah situasinya," jelasnya.
Sedangkan, kata dia, YouTuber hingga kreator konten di media sosial dapat lebih leluasa. Aturan yang membayangi mereka hanya UU ITE.
"Waktu aku dulu juga kerja di TV, TV itu industri media yang heavily regulated. Aturannya banyak banget, Komisi Penyiaran Indonesia juga lumayan galak," ujar Uni.
"Itulah kurang lebih ilustrasinya kenapa kita punya produk dan karakteristik produk seperti saat ini," sela Arief.
Selain banyak aturan, Arief menilai ongkos produksi media mainstream lebih tinggi dibandingkan media baru karena memiliki pengeluaran tetap, seperti gedung dan gaji karyawan. Sedangkan, ongkos yang dirogoh media baru bisa disesuaikan dengan konten yang akan diproduksi.
Baca Juga: Hari Pers Nasional, Jokowi Janji Beri 5.000 Vaksin untuk Wartawan