Angka Perkawinan Anak Tinggi, Indonesia Emas 2045 Terancam
Banyak putusan dispensasi karena hamil
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kasus perkawinan anak di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, pada 2021 tercatat ada 65 ribu kasus dan di 2022 tercatat 52 ribu pengajuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bekerja sama dengan PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak.
Hasil kajian ini dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di kantor KemenPPPA, Kamis (26/1/2023).
“Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis bagi anak-anak, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting, putus sekolah hingga ancaman kanker serviks/kanker rahim pada anak," kata Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA, Titi Eko Rahayu, dalam agenda Seminar yang dilihat di Youtube KemenPPPA, Jumat (27/1/2023).
Baca Juga: Perkawinan Anak Merebak, Begini Tindakan Para Ulama Perempuan di Indonesia
1. Banyak putusan dispensasi karena hamil
Andrea Andjaringtyas dari PUSKAPA-UI menjelaskan, kajian dilakukan dengan analisa 225 putusan dispensasi perkawinan dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agama dalam kurun waktu 2020-2022, serta dari hasil konsultasi terpumpun atau Focus Group Discussion dan kajian literatur 40 publikasi ilmiah.
Hasilnya, sepertiga dari 225 hasil putusan dispensasi yang diajukan karena sudah hamil terlebih dahulu.
"Dari 225 putusan, sebanyak 34 persen dikarenakan faktor kehamilan. Ada empat masalah yang melatarbelakangi kehamilan anak yang akhirya mendorong perkawinan anak yaitu kesulitan hidup di keluarga rentan dan tidak memiliki kapasitas pengasuhan yang baik, anak tidak mendapat dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya, anak tidak memilki kemampuan untuk menimbang risiko kehamilan, dan anak memandang perkawinan sebagai cara untuk menikmati masa remaja,” ungkap Andrea.
Baca Juga: Kasus Perkawinan Anak di Malang Tertinggi di Jawa Timur