TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

ICJR Sayangkan Pernyataan Kapolda Sulteng soal Kasus Perkosaan Parimo

Pertanyaan kapolda tunjukkan kurangnya pemahaman hukum

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Agus Nugroho yang menyatakan kasus pemerkosaan terhadap anak berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) adalah persetubuhan dan bukanlah pemerkosaan.

"ICJR menyayangkan pernyataan-pernyataan tersebut, bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar," kata ICJR dalam keterangannya, dikutip Jumat (2/6/2023).

Baca Juga: Kasus Remaja di Sulteng Disebut Bukan Perkosaan, Ini Reaksi Komnas Perempuan

1. Pernyataan polisi destruktif bagi pembaruan politik hukum Indonesia

Ilustrasi korban kekerasan (IDN Times/Arief Rahmat)

ICJR beranggapan, pernyataan polisi seperti ini sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia, dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif.

Hal ini juga tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual salah satunya dengan UU TPKS.

"Adanya aturan tentang persetubuhan anak ini bukan seperti yang dinarasikan oleh polisi, bahwa jika ada iming-iming menjadi “turun” menjadi persetubuhan. Justru sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetaplah merupakan kekerasan seksual, bahkan level kejahatannya lebih berat," ujar ICJR.

2. Polisi wajib paham persetubuhan dengan anak adalah mutlak perkosaan

Polisi yang mengamankan jalannya demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM di Kantor DPRD Sulut, Senin (6/9/2022). IDNTimes/Savi

Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak tetap masuk ke dalam kategori kekerasan/ancaman kekerasan.

ICJR menjelaskan hukumannya juga lebih berat dengan perkosaan, jika dalam KUHP ancaman pidana maksimal 12 tahun, dalam UU Perlindungan Anak mencapai ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara, dan jika pelakunga misalnya pendidik, dalam maka dapat bertambah sepertiga.

"Polisi wajib memahami diskursus perlindungan anak bahwa setiap bentuk persetubuhan terhadap anak dengan bentuk cara apapun, kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak atau Statutory Rape," kata ICJR.

ICJR menjelaskan polisi harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia, dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK, persetubuhan terhadap Anak adalah kekerasan seksual, juga dalam Pasal 473 ayat (2) huruf b UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru telah mengambil politik hukum bahwa Persetubuhan terhadap Anak juga merupakan bentuk perkosaan.

Baca Juga: Anak Korban Pemerkosaan oleh 11 Orang Diduga Dieksploitasi Seksual

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya