Ingatan Tragedi Mei 98, Kejamnya Kekerasan Seksual pada Perempuan
Mencegah berulangnya tragedi Mei 98 usai adanya UU TPKS
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kenangan kelam menjadi ingatan pahit saat tragedi Mei 1998. Kerusuhan massal yang meletus di kota-kota besar di Tanah Air di antaranya Medan, Jakarta, Surabaya, Solo, dan Palembang pada 13-15 Mei 1998 atau lebih dikenal Tragedi Mei 1998 jadi pelanggaran berat kemanusiaan.
Perempuan Tionghoa jadi saksi kekejaman kekerasan seksual yang terjadi pada masa itu. Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah Indonesia telah mengonfirmasi telah terjadi 85 tindak kekerasan seksual massal terhadap perempuan Tionghoa, 52 kasus di antaranya adalah pemerkosaan yang dilakukan secara berkelompok (gang rape).
“Pengakuan ini penting mengingat sebelumnya ada bantahan bahwa telah terjadi pemerkosaan massal. Trauma akut yang dialami perempuan-perempuan korban dan keluarganya membuat mereka bungkam, yang akhirnya menguatkan penyangkalan publik dan negara atas peristiwa Kekerasan Seksual yang terjadi,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam keterangannya Jumat (13/5/2022).
Nyatanya, tak semua tindak perkosaan saat itu bisa didokumentasikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), sehingga angka sesungguhnya kemungkinan lebih banyak dari yang dilaporkan.
Baca Juga: Keluarga Tragedi 98: Pak Jokowi Suruh Airlangga dan Erick Bantu Rumah
1. Korban sudah menua dengan penantian keadilan
Usai 24 tahun Tragedi Mei 1998, Komnas Perempuan merasa pertanggungjawaban negara atas tragedi itu belum terwujud, khususnya pemenuhan hak-hak perempuan korban, baik penanganan maupun pemulihan yang komprehensif.
Negara dinilai masih bergeming pada tuntutan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sementara para korban sudah menua dengan penantian keadilan.
Komnas Perempuan yang didirikan atas tuntutan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 dan kekerasan seksual umumnya, melawan lupa dengan mencatat adanya pertautan antara diskriminasi berbasis gender dan rasisme, dalam tindak kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998.
Baca Juga: Hari Buruh Momen Evaluasi Isu Kekerasan Perempuan di Lingkungan Kerja