TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Restitusi Korban Kekerasan Seksual bisa Diajukan dari Tingkat Bawah

Diajukan dari UPTD PPA

Ilustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Jakarta, IDN Times - Usai RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang TPKS pada 12 April 2022, peran dan fungsi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dinilai jadi semakin penting guna memberikan perlindungan terbaik bagi perempuan dan anak korban tindak pidana kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)  Nahar menyatakan, UPTD PPA akan terus diperkuat sesuai dengan mandat yang diamanahkan dalam UU TPKS, termasuk di antaranya mengawal pemenuhan hak-hak korban dan pendampingan selama proses peradilan.

“Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang baru yang lebih terintegrasi, multi aspek dan lintas fungsi, mensyaratkan perlunya bermitra dengan lembaga terkait, juga perlu adanya satu tim terpadu dari unsur pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Kesehatan, dan sosial dalam pemulihan para korban khususnya terkait penyediaan layanan jaminan sosial dalam bentuk jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan," kata dia dalam keterangannya, Selasa (26/4/2022).

Baca Juga: Perkosaan Tak Masuk UU TPKS, Diharapkan Jadi Terobosan di RKUHP

1. Mulai dari laporan kepolisian bisa ajukan restitusi korban

Kunjungan KemenPPPA pada korban paedofilia asal Padang | Deputi Perlindungan Anak, Nahar mengunjungi TR di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Selasa (3/11). (Dok. Humas KemenPPPA)

Selain itu, dalam UU TPKS, UPTD PPA pada saat membuat laporan kepada pihak kepolisian dapat mengajukan restitusi bagi korban, nominal untuk restitusi yang akan dibayarkan oleh pelaku dan dapat dikoordinasikan dengan pihak LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

"Hak korban ini dilaksanakan setelah adanya penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

2. Kasus Herry Wirawan berujung pemberian restitusi ke 13 korban

(llustrasi terdakwa di persidangan) IDN Times/Galih Persiana

Nahar mencontohkan kasus kekerasan seksual di Bandung, Jawa Barat. Pada akhirnya hakim memutuskan bahwa Herry Wirawan wajib membayar restitusi terhadap 13 korbannya dengan nominal yang berbeda-beda, sesuai kebutuhan masing-masing anak berdasarkan hasil assestmenLPSK.

“UU TPKS ini mengingatkan kita semua yang berkutat pada isu perempuan dan anak, untuk memastikan hak-hak korban diperhatikan. Pengajuan restitusi terhadap pelaku wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena restitusi itu adalah hak korban," kata Nahar.

3. UPTD PPA bisa usulkan dan hakim yang putuskan

Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar saat menghadiri konpers di Polda Metro Jaya (Dok. IDN Times/Humas KemenPPPA)

Nantinya UPTD PPA tiap daerah dapat mengusulkan. Kemudian, hakim di pengadilan yang akan memutuskan. Selain itu perlu diingat juga bahwa jika ada pengaduan, dalam 1x24 jam, korban harus sesegera mungkin mendapatkan perlindungan sementara.

"Sementara pendampingan bisa juga melibatkan pihak lain, contohnya bisa mengajak peran serta Tim Penggerak PKK. Dalam kasus di Bandung, tim penggerak PKK turut serta melakukan pendampingan,” kata  Nahar.

Baca Juga: UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya