TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Revisi Perda COVID-19 DKI Jakarta Dinilai Sepihak dan Salahkan Warga

Sanksi pidana hanya menambah kesengsaraan warga saat pandemi

Seorang warga menggendong anaknya di sebuah taman kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (23/7/2021). Sebagian masyarakat masih tidak menghiraukan imbauan Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Anak Nasional agar anak-anak tidak beraktivitas di luar rumah untuk mencegah penularan COVID-19 (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Jakarta, IDN Times - Wacana revisi Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 ditentang sejumlah pihak. Adalah Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang secara tegas menolak revisi tersebut.

"Alasan revisi cenderung hanya sepihak menyalahkan warga sebagai penyebab meningkatnya angka penularan Covid-19 di DKI Jakarta tanpa mengevaluasi pola komunikasi dan tanggung jawab hukum yang diemban pemerintah dalam penanganan Covid-19," tulis anggota JMRK, Darma Diani dalam keterangannya, Minggu (25/7/2021).

Baca Juga: Ini 3 Pasal yang Jadi Fokus Usulan Revisi Perda COVID-19 DKI Jakarta

1. Penerapan Perda dianggap belum adil dan picu ketidakpercayaan warga

Satpol PP memberi sanksi terhadap pelanggar PSBB di Jakarta (Instagram.com/satpolpp.dki)

Penegakan hukum protokol kesehatan di DKI Jakarta dengan Perda ini dirasa masih belum konsisten dan adil diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat. Menurut JMRK, hal itu sering memicu ketidakpercayaan publik pada pemerintah yang akan menghambat penanganan COVID-19.

Selain itu, JMRK dan lembaga lainnya merasa sanksi pidana berpotensi menyasar dan menambah kesengsaraan rakyat miskin yang harus bekerja di luar rumah.

"Dengan kondisi kesejahteraan masyarakat yang demikian menurun, penerapan sanksi pidana tidak akan efektif dan hanya menjadi kebijakan yang tidak sensitifserta akan menambah kesengsaraan masyarakat," kata Darma.

2. Pemberian sanksi pidana dinilai sebagai pengalihan kegagalan pemerintah

Satpol PP memberi sanksi terhadap pelanggar PSBB di Jakarta (Instagram.com/satpolpp.dki)

Selain itu, upaya mengatur sanksi pidana bagi masyarakat dinilai sebagai bentuk pengalihan dari kegagalan pemerintah melaksanakan tanggung jawab dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Menurut JMRK, pengendalian COVID-19 tak akan bisa berhasil tanpa menjamin kebutuhan hidup harian warga dan akses kesehatan yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat.

"Daripada memidanakan, pemerintah Gubernur DKI Jakarta beserta jajarannya perlu memperbaki banyak hal salah satunya soal bansos, agar lebih merata dan transparan," katanya.

3. Pemprov DKI perlu evaluasi pemberian wewenang pada Satpol PP

Satpol PP memberi sanksi terhadap pelanggar PSBB di Jakarta (Instagram.com/satpolpp.dki)

JMRK dan lembaga lainnya menilai Pemprov DKI perlu mengevaluasi ulang pemberian kewenangan penyidikan kepada Satpol PP yang ditegaskan kembali dalam revisi tersebut. Selain menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian, hal ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan Satpol PP.

Selain itu masih marak tindak kekerasan dan praktik pungutan liar yang terjadi selama ini dalam korps tersebut.

4. Minta Anies cabut rencana revisi Perda ini

IDN Times/Gregorius Aryodamar P

Atas dasar tersebut, JMRK, LBH Jakarta, ICJR, dan YLBH meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi untuk membatalkan rencana perubahan Perda 2 Tahun 2020 dan mengevaluasi serta mencabut aturan terkait kewenangan penyidikan Satpol PP.

"Pemprov DKI Jakarta agar melakukan persuasi kepada masyarakat dengan menjamin keterbukaan informasi dan penyebaran informasi yang merata terkait penanganan Covid-19 dan akses terhadap jaminan sosial," ujar Darma.

Baca Juga: Anggota DPRD DKI: Masyarakat Jadi Kambing Hitam Revisi Perda COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya