TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sejumlah Rekomendasi dari DPR untuk Kemendikbud Jika Sekolah Dibuka

Pembukaan kembali sekolah tak bisa sembarangan saat ini

Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian (Dok. Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hetifah Sjaifudian menjelaskan bahwa wacana sekolah buka harus ditindaklanjuti dengan bijak.

Walau tahun ajaran baru yang dimulai pada 13 Juli mendatang masih dilakukan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), persiapan untuk belajar tatap muka harus disiapkan. Selain itu, PJJ yang saat ini berlangsung juga harus ditingkatkan serta dievaluasi lebih baik lagi.

"Melihat kondisi yang berbeda-beda di tiap daerah terkait dengan COVID-19 ini kebijakan pendidikannya harus benar-benar cermat, tidak boleh sembarangan kita ambil keputusan langsung dibuka sekolah," kata dia dalam program Ngobrol Seru spesial HUT ke-6 IDN Times, Selasa (9/6).

Baca Juga: Kemendikbud Minta Orangtua Tetap Penuhi Kewajiban Bayar SPP Sekolah 

1. Perbedaan kondisi wilayah membuat sulitnya menerapkan kebijakan one size fits all

Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hetifah Sjaifudian (Dok. Istimewa)

Menurut dia pertimbangan sekolah harus melihat bagaimana kondisi COVID-19 di wilayah tersebut. Dikhawatirkan, jika wilayah itu tidak sepenuhnya bebas virus, akan ada klaster penyebaran yang baru.

Terpisah, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dia meminta agar pembukaan sekolah bisa dipandang dengan adil. Karena menurut Heti, wilayah Indonesia memiliki keadaan geografis yang begitu berbeda membuat sulitnya menerapkan suatu kebijakan one size fits all.

"Tentu saja kebijakan di daerah-daerah tersebut tidak dapat disamakan dengan daerah perkotaan di mana transmisi lokal berada pada level yang tinggi," ujar Heti dalam memo kebijakan yang diterima IDN Times.

2. Perhatikan kesenjangan antar-kelas di ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan

Ilustrasi sekolah sepi lantaran kegiatan belajar dilakukan siswa di rumah dampak wabah virus CoronaIDN Times/ Muchammad Haikal

Kebijakan pembukaan sekolah saat COVID-19 menurut dia, juga harus memperhatikan kesenjangan antar-kelas di ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Menurut dia orangtua kelas menengah yang bekerja di kantor, mungkin bisa mengerjakan beberapa pekerjaannya secara jarak jauh sehingga memungkinkan
mereka untuk mengawasi anak-anak di rumah, tetapi orangtua yang bekerja sebagai buruh lepasan, petani, nelayan, mungkin tidak dapat menerapkan hal yang sama.

"Tingkat pendidikan orangtua pun sangat mempengaruhi kemampuan mereka dalam mendampingi anak melakukan kegiatan belajar dari rumah," ujar dia.

Belum lagi, jika anak-anak dan guru harus pergi ke sekolah dengan kendaraan umum, potensi terpapar semakin tinggi. Karena tak semua memiliki kendaraan pribadi.

"Selain itu, kebijakan masuk sekolah juga memiliki implikasi yang berpotensi memberatkan orangtua secara ekonomi, seperti biaya transportasi dan makanan bagi anak," pungkasnya.

3. Sekolah harus siap deteksi anak yang sakit dan meminimalisir kontak antar-siswa

Petugas sekolah menyemprot cairan disinfektan pada kelas yang telah diatur jarak antar siswa di SMK Kosgoro, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/6. (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Heti juga dalam memonya meminta agar Nadiem memperhatikan sarana dan prasarana sekolah guna menunjang protokol kesehatan di tengah COVID-19. Dia menyarankan agar Kemendikbud memperhatikan beberapa hal, mulai dari sekolah yang harus memiliki fasilitas mencuci tangan yang memadai, dengan sabun yang terus tersedia, keadaan kelas memiliki ukuran, dan fasilitas yang cukup untuk menerapkan protokol jaga jarak.

Selain itu, fasilitas dan tenaga kesehatan UKS memadai untuk mendeteksi anak-anak yang sakit, termasuk tersedianya termometer. Keberadaan kantin, serta sarana pendukung lainnya yang memadai sehingga dapat meminimalisir kontak antar-siswa.

Baca Juga: DPR: 40.000 Sekolah Belum Miliki Internet, PJJ Jadi Tak Optimal

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya