TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ternyata PHK Akibat Pandemik Virus Corona Bisa Pengaruhi KDRT

Tekanan membuat kekerasan jadi alternatif pengalihan emosi

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Aktivis Perempuan Kalis Mardiasih menanggapi banyak kasus kekerasan pada perempuan dan anak, yang terjadi selama pandemik virus corona atau COVID-19. Kekerasan ini dipengaruhi banyak faktor. 

"Indonesia cukup tinggi jadi kenaikan itu sampai sekitar 75 persen, sama dengan negara-negara lain juga cukup tinggi, dan itu sebetulnya faktor yang banyak, karena sebetulnya di hari-hari biasa juga angka kekerasan tinggi," kata dia kepada IDN Times, dalam program Ngobrol Seru dalam siaran langsung Instagram @IDNTimes, Minggu (24/5).

Baca Juga: Duh! Kasus KDRT Justru Meningkat Selama Wabah Virus Corona 

1. Rumah bisa jadi tempat paling tidak aman dan tidak nyaman

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Kalis, rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman bagi seseorang. Apalagi interaksi korban dengan pelaku kekerasan di rumah semakin meningkat, karena semua kegiatan dialihkan ke rumah.

"Biasanya korban itu bisa mencari perlindungan, dia bisa bekerja di luar atau pelakunya juga kerja di luar, sehingga waktu pertemuan mereka itu terbatas," ujar dia.

Rumah bagi sebagian orang, kata Kalis, bisa menjadi tempat yang paling tidak aman dan nyaman bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

2. Budaya patriatki dan stigma terhadap laki-laki juga berpengaruh

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Kalis, juga bisa dipengaruhi pemutusan hubungan kerja (PHK), yang semakin masif terjadi selama pandemik virus corona. Laki-laki atau kepala rumah tangga yang terdampak PHK membuat laki-laki menjadi emosional, karena budaya patriatki di Indonesia tak membentuk laki-laki menjadi terbuka dan bisa mengreskpresikan emosi atau tekanan dengan menangis atau bercerita.

"Nah, laki-laki itu tidak terbiasa mengungkapkan perasaannya dengan cara mengeluh, menangis, karena dalam budaya patriarki keluhan atau tangisan itu dianggap tidak laki-laki atau tidak jantan. Sebetulnya itu merugikan laki-laki," ujar Kalis.

3. Tekanan bisa membuat laki-laki melakukan kekerasan

Ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Emosi yang terpendam itulah yang bisa mengalihkan rasa marah atau kecewa seorang laki-laki pada tindakan kekerasan, apalagi budaya patriarki di Indonesia memberi stigma bahwa laki-laki harus sukses dan mampu menghidupi keluarga. Padahal, di kondisi krisis seperti ini, banyak kepala keluarga kehilangan pekerjaan.

"Dia tidak punya cara untuk mengungkapkan kebingungannya. Jadi keluarnya itu kekerasan," kata Kalis.

Baca Juga: Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya