TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Viral Pelecehan Anak di Mal Bintaro, Langkah Polisi Dikritik

Perlu perbaikan penanganan kasus kekerasan seksual

Ilustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Jakarta, IDN TimesIndonesia Judicial Research Society (IJRS), The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Center on Child Protection and Wellbeing at Universitas Indonesia (PUSKAPA) menyesalkan terjadinya kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang pria terhadap beberapa anak di mal Bintaro Xchange, Tangeran Selatan, pada Minggu, 26 Juni 2022.

Pelaku mengalami gangguan mental sejak dipecat. Belakangan, laporan atas dugaan pelecehan seksual pada anak itu berakhir saat polisi melakukan mediasi antara keluarga pelapor dan pelaku. Pelaku pun berujung dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk pengobatan.

Dengan fakta demikian, ketiga lembaga tersebut meminta kepolisian untuk memperbaiki mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang dimiliki saat ini. IJRS, ICJR, dan PUSKAPA memberikan beberapa catatan kritis yang perlu direspons kepolisian.

Baca Juga: Viral! Pelecehan Seksual Terhadap Anak di BXChange Mall Bintaro

Baca Juga: Viral Pria Lecehkan Anak di Mal Bintaro, Benarkah Pelaku ODGJ?

1. Pemaknaan pelecehan seksual disebut keliru

Ilustrasi tersangka (IDN Times/Bagus F)

Ketiga lembaga tersebut menyayangkan pernyataan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Tangerang Selatan, Iptu Suswanto yang menyebutkan, apa yang dilakukan pelaku bukanlah pelecehan seksual secara fisik karena korban hanya dipegang di luar saja.

“Sejatinya, kasus tersebut sudah termasuk pelecehan seksual terlepas dari bagian tubuh mana yang disentuh pelaku, baik terjadi dalam ruang tertutup maupun ruang publik. Ini didasarkan pada definisi yang menyebutkan bahwa perbuatan pelecehan seksual secara fisik adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki dengan pelaku," tulis ICJR, IJRS dan PUSKAPA, dilansir Selasa (7/5/2022).

"Hal ini termasuk, menyentuh dengan sengaja, baik secara langsung atau melalui pakaian, pada alat kelamin, anus, selangkangan, payudara, paha bagian dalam, atau pantat siapapun tanpa kehendak, atau orang tersebut menolak,” lanjutnya.

Pelecehan seksual sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 6 huruf a.

2. Perlunya pahami konteks pemberian persetujuan

ilustrasi Pelecehan Seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam konteks seksual, unsur persetujuan atau consent jadi aspek penting. Pasalnya, karena suatu tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual.

Consent dipengaruhi oleh keleluasaan dan kapasitas seseorang untuk memberikan persetujuan. Namun, ada beberapa kondisi bahwa consent tak bisa bebas diberikan seseorang. Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan (non competent consent), salah satunya anak. 

“Anak merupakan salah satu subjek non competent consent yang belum cakap. Ketika dilakukan suatu tindakan seksual (seperti persetubuhan) terhadap anak, tindakan tersebut sudah termasuk sebagai kekerasan seksual, terlepas dari adanya persetujuan yang diberikan. Persetujuan tidak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi ini,” ujar mereka.

Baca Juga: PT KAI Lakukan Kampanye Lapor dan Cegah Pelecehan Seksual

Baca Juga: Kena Blacklist KAI, Pelaku Pelecehan Seksual Tak Bisa Lagi Naik Kereta

3. ODGJ bukan berarti lepas dari jerat hukum

Direktur RSJ Prof Muhammad Ildrem, Ria Novida Telaumbanua memantau jalannya proses vaksinasi untuk Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Sebelumnya, Kanit PPA Polres Tangerang Selatan juga mengatakan, proses hukum tak bisa dilakukan dalam kasus tersebut karena keluarga pelaku menjelaskan ada surat keterangan dari RSJ. Meski demikian, kasus itu dinilai masih bisa dilanjutkan dengan mengembangkan bukti yang ada, yaitu keterangan saksi ibu korban dan alat bukti elektronik.

“Tidak semua tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga yang perlu dilakukan adalah penilaian oleh ahli, bukan penilaian mutlak polisi sebagai aparat penegak hukum,” ujar mereka.

Selain itu proses mediasi dinilai tak tepat dalam kasus kekerasan seksual, maka perlu penyesuaian kebijakan internal, terutama untuk mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya