TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cerita Gentar Mengajar Suku Anak Dalam: Kami Tak Mau Dibodohi Lagi 

Pengajar anak-anak Orang Rimba Jambi

Gentar saat mengajak anak-anak Orang Rimba/IDN Times/Ramond

Jambi, IDNTimes - Sako Nini Tuo, tepian Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) masih basah karena diguyur hujan semalam. Gentar (35), Menti Orang Rimba Kelompok Tumenggung Ngadap sudah bersiap untuk mengajar anak-anak Orang Rimba yang ada di Sako Nini Tuo, anak Sungai Makekal, sekitar 10 kilometer dari Desa Jernih Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Gentar yang di kelompoknya juga disapa dengan Bepak Beganggum, berjalan menuju pondok-pondok Orang Rimba.

“Oi...guing pigi sokola,” teriakan Gentar menggema di antara pepohonan. Sejurus kemudian, anak-anak keluar dari pondok beratapkan terpal menuju ke arah Gentar. Anak-anak itu mengikuti gurunya menuju pondok pelajaran yang beratapkan terpal. Segera mereka duduk berkumpul.

“Bejarak-bejarak duduknye (jaga jarak duduknya),” kata Gentar ke murid-muridnya, Kamis (19/11/2020).

Anak-anak itu patuh menjaga jarak, walau tak lama kemudian mereka sudah semakin merapat mendekati gurunya. Murid Gentar beragam usia, dari yang sudah belasan, sampai budak ebun (anak kecil) yang termuda sekitar empat tahun.

Membuka kelas pagi itu, Gentar memeriksa kemampuan anak didiknya yang sudah belasan tahun. Ada Magar (18), Baasu (15), Begompa (15), Ngarong (13), dan Meranti (12). Tiga murid lainnya masih usia sangat muda, Mbrusik satu-satunya murid perempuan (7), Nguris (4) dan Ngelatai (5).

Anak-anak rimba ini bersiap menerima pelajaran dari guru mereka. Gentar mengecek kemampuan muris belasan tahun itu. “Coba mika tulis, Pagi ini kita belajar,” perintahnya.

Segera muridnya menulis. Sesekali masih ada yang lupa huruf dan melirik kawan di sebelah. Gentar mengecek satu per satu tulisan mereka, memperbaiki yang keliru.

Sebenarnya anak murid Gentar di rombongan itu ada 25 orang. Hanya saja, hari itu sebagian dari mereka pergi ikut orangtua mempersiapkan ritual adat Orang Rimba. Sehingga yang ikut belajar beberapa orang saja.

“Mumpa iyoilah keadaan kami belajor, kadong benyok kadang sedikit, tergantung bebudak (Seperti inilah kondisi kami belajar, kadang banyak kadang sedikit, tergantung muridnya),” ujar Gentar tentang sekolahnya.

Dalam mengajar anak-anak rimba, semuanya saling mencocokkan. “Hopi tentu waketunye, sebilo budak nio belajor, akeh kasih belajor, atau sebilo akeh luang akeh kasih belajor (Tidak menentu waktunya, bila anaknya ingin belajar dan saya punya waktu kami belajar),” kata Gentar.

Pendidikan yang dikembangkan di Orang Rimba mengikuti adat dan budaya mereka. Tidak ada kelas khusus, bisa di bawah pohon, di pinggir sungai, di bawah tenda atau di mana saja yang membuat mereka nyaman. Juga tidak menentu waktunya, selagi para murid mau belajar dan gurunya juga tidak ada kegiatan lain, mereka terus belajar bahkan hingga larut malam.

Namun ada kalanya pelajaran terpaksa terhenti. Misalnya saja ketika ada murid yang sakit, maka murid tersebut akan dipisahkan. Dalam istilah Orang Rimba disebut dengan sesandingon, atau social distancing. Adat ini sudah lama diterapkan Orang Rimba. Agar bisa bergabung belajar, anak-anak dipastikan benar-benar sehat.

Baca Juga: Mengenal Sesandingon, Social Distancing ala Orang Rimba di Jambi

1. Orang Rimba belajar supaya tidak dibodohi

Suasana belajar Orang Rimba/IDN Times/Ramond

Lantas apa yang mendorong Gentar ingin mengajar?

“Akeh ingin kami Orang Rimba piado dipaloloi (tidak dibodohi). Misalkan, kami menjual hasil rimba kami, berapo timbangan, berapo hargo, kami bisa tentu kalau kami hitung sendiri,” ucap Gentar.

Gentar menyebutkan, sudah masanya Orang Rimba tidak boleh lagi tertinggal. Bahkan Gentar berniat suatu hari nanti anak-anaknya bisa lanjut sekolah formal. “Akeh ndok anak akeh bisa sekolah mumpa orang diluaron (saya ingin anak saya bisa sekolah seperti anak orang di luar),” katanya.

Gentar ingin anaknya suatu hari nanti ada yang bisa menjadi lokoter, istilah Orang Rimba untuk tenaga kesehatan.

“Kami di rimba, kalau sakit obat sendiri, kalau keluar agak susah jugo, kalau ado di antara kami nan sodah tukang kesehaton, tontu mudah kamia berobat (Kami berharap ada anak didik kami yang bisa menjadi tenaga kesehatan untuk memudahkan Orang Rimba berobat),” jelas Gentar.

Nguris, anak laki-laki satu-satunya Gentar menjadi harapannya untuk bisa sekolah lebih baik, mengikuti jenjang pendidikan formal dan memiliki kecakapan khusus kesehatan.

“Kalau anak akeh nan betina, belum boleh samo induknye untuk sekolah di luaron (untuk anak perempuan, istri saya belum mengizinkan untuk sekolah keluar),” kata Gentar.

Perempuan bagi Orang Rimba memegang peranan sebagai penentu, termasuk sekolah. Ketika istri tidak mengizinkan, pihak suami biasanya juga mengalah tidak ikut mendebatnya lebih lanjut.

Perempuan bagi Orang Rimba adalah penjaga adat. Sehingga interaksi mereka dengan dunia luar sangat dibatasi. Diyakini, kuatnya menjaga tradisi ini, adat budaya Orang Rimba masih bisa ditemui hingga sekarang.

Meski istrinya melarang anak perempuannya sekolah formal, Gentar tetap mengajari anak-anak perempuannya membaca, menulis dan berhitung.

2. Gentar merupakan kader sekolah alternatif

Gentar mengajarkan membaca dan berhitung kepada anak-anak Orang Rimba/IDN Times/Ramond

Gentar merupakan kader sekolah alternatif yang digagas Komunitas Konservasi Indonesia Warsi. Awalnya, Fasilitator Warsi yang menjadi tenaga pendidikan di kelompok ini mengajarkan mereka tiga hal pokok saja: baca, tulis dan hitung. Pelajaran ini yang disepakati para Tumenggung, pemimpin Orang Rimba untuk disampaikan pada anak-anak.

Orang Rimba merupakan suku adat marginal yang tinggal di hutan sekunder dan perkebunan Provinsi Jambi. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok dipimpin oleh Tumenggung.

Antar anggota Tumenggung masih terpecah ke dalam kelompok yang lebih kecil. Seperti Gentar, tergabung dalam Tumenggung Ngadap. Hanya saja secara penghidupan mereka terpisah jarak.

Tumenggung Ngadap tinggal di Sungai Sungkoi, sedangkan Gentar di Sako Nini Tuo, terpaut jarak sekitar 5 kilometer atau satu jam berjalan kaki.

Dengan kondisi ini, maka pendidikan untuk anak-anak rimba bisa dilangsungkan di masing-masing kelompok kecil. Fasilitator pendidikan mengajari mereka huruf dan angka, kemudian melanjutkan ke tahap selanjutnya hingga fasih membaca dan menulis serta berhitung.

Anak-anak yang dianggap cakap, kemudian diajarkan lagi cara mendidik anggota kelompoknya. Mereka inilah yang dinamakan kader pendidikan. Tidak ada ijazah yang mereka kantongi, apalagi sertifikasi. Mereka hanya dianggap layak mengajar ketika mampu transfer ilmu atau materi yang didapatkan dari Fasilitator Pendidikan Warsi.

“Dengan adanya kader ini pendidikan untuk Orang Rimba menjadi lebih tersebar merata,” kata Jauharul Maknun, Fasilitator Pendidikan Warsi yang menjadi mentor Gentar dalam mengajar.

Dengan kader, pendidikan yang berasal dari Orang Rimba, perempuan yang dengan fasilitator pendidikan Warsi dilarang ikut, jika pengajar dari kelompok mereka boleh ikut. “Kita berharap pendidikan walau masih terbatas baca tulis dan hitung,. Bisa menjangkau seluruh anak-anak rimba,” kata Maknun.

Kader guru rimba silih berganti setiap tahunnya. Ada kalanya kader menikah dan kemudian tidak diizinkan mengajar, maka posisi kadernya juga bisa lepas. Seperti yang dialami Gentar.

Baca Juga: Diperingati 25 November, Perbedaan Hari Guru Nasional dan Hari PGRI

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya