TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jurnalis Perempuan Bicara Pro Kontra Pembeberan Identitas Narasumber

Identitas narasumber berkaitan dengan etika jurnalistik

Zoom meeting FJPI Diskusi Jurnalis Perempuan Bicara Kartini di Era Pandemik Virus Corona. IDN Times/Uni Lubis

Jakarta, IDN Times – Perihal apakah identitas narasumber dalam suatu pemberitaan boleh dibuka atau tidak kerap menimbulkan pro dan kontra. Tak terkecuali perdebatan muncul dari kalangan wartawan sendiri.

Dalam diskusi daring yang dilakukan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dalam rangka memperingati hari Kartini bersama sejumlah jurnalis perempuan hari ini, Rabu (21/4), sejumlah jurnalis perempuan senior menyampaikan pandangannya.

Dilema ini termasuk sering muncul di tengah wabah COVID-19 dimana cukup banyak orang yang terbuka dengan kondisi positif pun sembuhnya di media sosial sehingga menimbulkan dilema soal keterbukaan identitas bagi pewarta yang ingin menuliskan kisahnya.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Mami Fauziah sebagai Driver Ojek Daring Perempuan

1. Selama narasumber bersedia, media boleh membuka

Direktur Eksekutif Yayasan Lontar dan CEO AsiaViews Yuli Ismartono (IDN Times/Irfan Fathurohman)

“Kalau memang narasumbernya bersedia, kenapa tidak langsung diwawancarai, kenapa tidak diambil kesan pesannya,” kata CEO Asiaviews, Yuli Ismartono dalam diskusi daring tersebut.

Hal senada diungkapkan News Director Kompas TV, Rosiana Silalahi yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi daring tersebut. “Selama pasien dengan persetujuan mau membuka identitas, media boleh melakukan itu,” kata dia.

Sebagai jurnalis perempuan, Rosi menyebut justru menyampaikan informasi yang sudah terverifikasi langsung dari sumber utama yang bersedia disebutkan identitasnya membuat stigma dapat diminimalisir.

2. Soal mengutip cerita orang dari sosial media

Petty Fatimah (Twitter/@petz09)

Perihal cukup banyak kisah yang dibagikan di sosial media dan menarik untuk diberitakan, Pemimpin Redaksi Femina Media, Petty Fatimah mengingatkan soal etika jurnalistik. “Etikanya adalah kita gak bisa mencomot,” kata Petty dalam diskusi.

“Kedua menjaga agar tidak terjebak pada menulis tanpa verifikasi. Bagaimanapun bisa saja yang diceritakan sama dia berbeda dengan konten yang mau kita tulis,” kata dia lagi. Penting menurut Petty untuk menghubungi langsung orang yang menuliskan kisah.

Tak hanya untuk meminta izin kisahnya dimuat dalam pemberitaan media, namun juga agar jurnalis dapat melakukan verifikasi.

Baca Juga: Sepenggal Kisah Srikandi Manggala Agni, Hari-Hari di Hutan Tanpa Kabar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya