TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hina Presiden Bisa Dipenjara, LBH Sebut RKUHP Jadi Pasal Kolonial

Pasal 218 RKUHP jadi pasal diskriminatif

Presiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Jakarta, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP yang baru mempersempit definisi dan membatasi kritik.

Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum menilai pasal 218 dalam RKUHP membuat over kriminalisasi atau pemidanaan berlebihan pada masyarakat. Sebabnya beleid itu mengatur kritik dari masyarakat pada pemerintah harus konstruktif dan memberikan solusi.

Citra berpandangan bahwa pasal ini sejatinya sudah tidak relevan. Ia menjelaskan bahwa pasal penghinaan tersebut merupakan peninggalan kolonial Belanda.

Dalam konteks itu, pasal penghinaan ditujukan kepada raja atau ratu, bukan presiden. Sementara Indonesia menganut sistem republik demokratis.

“Pasal ini overkriminalisasi dan juga pasal kolonial, itu dibuat untuk melindungi Ratu Belanda sebetulnya, konteksnya monarki. Sistem kita republik demokratis bukan monarkis,” kata Citra saat dihubungi, Jumat (8/7/2022).

Baca Juga: Draf RUU KUHP: Hati-hati! Nge-Prank Bisa Didenda Rp10 Juta

Baca Juga: Di RKUHP Final, Bikin Video Porno untuk Konsumsi Pribadi Bukan Pidana

1. LBH sorot pasal 218 RKUHP

(ANTARA FOTO)

Citra menjelaskan definisi kritik dalam pasal 219 RKUHP bermakna sempit.  Hal itu dikarenakan dalam pasal 218 RKUHP memuat penjelasan tentang perbedaan menghina dan mengkritik.

Pada ayat 2 dijelaskan bahwa kritik yang dilontarkan masyarakat kepada pemerintah harus konstruktif dan memberikan solusi. Menurutnya, defini kritik tak bisa dijelaskan secara sempit seperti itu.

"Menurut kami seharusnya keritik itu tidak boleh didefinisikan secara sempit seperti itu," kata Citra.

Citra menjelaskan kritik terhadap kinerja atau kebijakan pemerintah seharusnya tidak dibatasi. Sebab hal itu dijamin juga oleh pasal 28E ayat 3 UUD 1945.

2. Jadi pasal diskriminatif

Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dampingi Presiden Joko Widodo ziarah ke Taman Makam Pahlawan, Kalibata pada Selasa (10/11/2020) (Dok.Setwapres)

Selain itu, LBH menilai pasal tersebut cenderung diskriminatif. Pasalnya, tidak semua warga bisa membuat kertas kebijakan sebagai tawaran solusi ketika mengkritik.

Citra juga menyorot bahasa hukum yang digunakan tak semuanya dapat dipahami oleh masyarakat.

"Kritik itu seharusnya dimaknai bukan hanya bagi orang orang yang punya privillidge memahami isi regulasi, struktur sistematika regulasi, orang orang yang kemudian bisa membuat kertas kebijakan," jelas dia.

Terlebih, permasalahan atau keluhan banyak terjadi pada lingkup masyarakat dengan ekonomi rendah. Dengan begitu, menurutnya normal jika banyak dari mereka yang melontarkan kritik.

"Harusnya ketika menyampaikan kritik itu mereka didenger, lalu kemudian dipertimbangkan pendapatnya. lalu diberikan penjelasan atas pertimbangan atas pendapat itu," tuturnya.

Baca Juga: RKUHP Diserahkan ke DPR, LBH Jakarta: Masih Abaikan Keterbukaan Publik

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya