TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kepala BRIN: Ada Sesuatu yang Salah di Manajemen Riset Kita

Kepala BRIN ungkap dua kekurangan riset di Indonesia

Kepala BRIN, Dr. Laksana Tri Handoko, M. Sc (IDN Times/Uni Lubis)

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengatakan kondisi riset di Indonesia sudah ada masalah sejak lama. Tri mengaku sering membahas hal ini dengan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie mengenai masalah riset di Indonesia.

"Pada saat almarhum Pak Habibie masih hidup pun memang ada sesuatu yang wrong di manajemen riset kita, sehingga kita tidak beranjak ke mana-mana, daya riset kita tidak tumbuh," ujar Tri dalam acara Forum Pemred yang disiarkan secara virtual, Selasa (4/1/2021).

Tri mengatakan, pada 1970-an, Malaysia dan Thailand banyak belajar kepada Indonesia terkait riset. Namun, saat ini justru Indonesia yang belajar kepada Malaysia dan Thailand.

"Bahwa kita gak usah susah-suah bandingkan, kita bandingkan saja dengan Malaysia dan Thailand, pada '70an dia banyak belajar ke kita, kemudian 25 plus 20 tahun sekarang, kita ke sana, bahkan dosen kita ya, bukan hanya di kampus yang kecil-kecil dosen UI, dosen ITB banyak yang ambil S2, S3 di Malaysia, para menteri juga banyak yang kuliah di sana, jadi sesuatu yang kita sadari bahwa kita ini ada something wrong," katanya.

Baca Juga: Lembaga Eijkman Dilebur dengan BRIN, 71 Staf Penelitinya Diberhentikan

Baca Juga: Dilebur dengan BRIN, Eijkman Tak Bisa Lagi Teliti Genome COVID-19

1. Kepala BRIN ungkap masalah riset di Indonesia

Kepala BRIN, Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc. (ANTARA/Vima P Setyorini)

Tri kemudian menjelaskan masalah riset di Indonesia. Pertama, karena riset di Indonesia itu dominan dilakukan pemerintah.

"Padahal riset itu gak boleh dominan pemerintah, aktivitas yang sama juga aktivitas ekonomi kreatif, kalau dominiasi pemerintah itu juga gak mungkin kreatif," katanya.

Menurutnya, riset yang dilakukan pemerintah itu 80 persen. Sedangkan yang non-pemerintahnya hanya 20 persen.

2. Periset harus banyak

Ilustrasi Penelitian Ilmiah. IDN Times/Mardya Shakti

Kemudian masalah yang kedua, kata dia, riset dan periset harus banyak. Dia meminta kepada pemerintah untuk mengurangi lembaga risetnya.

"Lembaga riset pemerintah itu harusnya sedikit saja, satu, dua saja, yang banyak itu harusnya non-pemerintah, nah itu kalau standar UNESCO 80 persen itu non-pemerintah, pemerintah riset itu yang gak laku saja," ucapnya.

Baca Juga: Sah! Jokowi Lantik Megawati Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya